Pages

Search Here

Mustafa Ismail: Lanang, Susu, dan Pasar Malam Sastra



Susu saya susu bendera, putih bawahnya, merah di pucuknya… Gara-gara nila setitik, rusak susu di sebelahnya… Slamet Widodo, penulisnya, memberi judul puisi tersebut dengan “Susu”. Sepanjang ia membaca puisi panjang itu, Rabu malam (28/5) di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan, suasana gerr tidak terbendung. Orang-orang merasa seger.

Slamet Widodo adalah salah satu penampil dalam acara Pasar Malam Sastra Reboan yang diadakan Yohannes Sugiarto dan kawan-kawan. Ini kali kedua mereka mengadakan acara serupa. Yang tampil tak hanya penyair, juga anak-anak band. Masing-masing tampil dengan caranya sendiri, baik pembaca puisi maupun kelompok band, termasuk dua penyanyi cilik yang lirik dan musiknya mengingatkan saya lagu-lagu Sherina ketika menjadi penyanyi cilik. Mirip banget.

Acara didahului dengan diskusi novel “Lanang” karya Yonathan Rahardjo. Saya salah seorang pembahas novel itu bersama seorang dokter hewan (Suli Teruli Sitepu), karib Yonathan. Ini novel pemenang harapan II Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2006. Meski menang sayembara dan ditulis begitu menonjol di cover bukunya, bukan berarti novel itu sempurna.

Membaca aliena pertama saja, saya sudah dibuat menderita. Betapa tidak, niat pengarang ingin berputis-puisi justru membuat saya menjadi tak bergairah. Coba simak kata-kata pembuka novel ini: “Malam berbintang. Satu-satunya bintang yang kelihatan bertahta di alam raya gulita itu menyelinap di balik kelambu putih yang letakknya tepat di sisi dalam kamar.”

Buat saya, pembuka seperti langsung membuat pembaca lemes. Sebab kata-katanya datar, klise, tidak bertenaga, dan tidak punya daya gugah. Itu belum lagi niat-niat bermain-main dengan bahasa sehingga membuat kata-kata menjadi bertele-tele. Jadi, sejak awal — di pintu — novel itu telah menyiksa pembaca. Dan penyiksaan, tentu, bagian dari pelanggaran HAM, he….he….

Tapi meski tersiksa, saya berhasil juga merampungkan novel itu beberapa puluh menit sebelum acara dimulai. Tadinya, saya ingin merampungkan membacanya di kantor, setelah kelar kerjaan, tapi Akmal Nasery Basral tiba-tiba datang ke meja saya dan mengajak saya segera berangkat ke Warung Apresiasi Bulungan, tempat berlangsungnya acara. Bahkan, ia “memaksa” saya ikut di mobilnya dan membiarkan mobil saya parkir di kantor. “Nanti kita balik lagi ke sini,” katanya.

Saya ingin mermbuat sebuah tinjauan panjang tentang novel itu, tapi belum kesampaian. Tapi yang dapat saya sampaikan, secara umum novel itu masih banyak mesti disempurnakan. Saya menyebut novel itu baru draft, belum selesai, belum saatnya dilempar ke publik. Mestinya, pengarang membaca kembali novel itu sebelum diterbitkan. Dalam pembacaan itu, pengarang menempatkan diri sebagai pembaca, bukan sebagai pengarang. Sebab, dengan demikianlah ia bisa kritis terhadap novelnya.

Semangat semacam ini seharusnya dimiliki oleh setiap pengarang. Pengarang jangan buru-buru melemparkan karya ke publik sebelum yakin betul bahwa karya itu benar-benar telah siap hadir. Yang juga saya sayangkan adalah fungsi editor di novel itu sama sekali tumpul. Ia seperti tidak melakukan apa-apa, meskipun namanya tercantum jelas di bagian keterangan penerbitan.

Mestinya editor yang baik bisa melakukan penyempurnaan-penyempurnaan, tidak hanya dalam bahasa, juga logika cerita, bahkan jalannya cerita. Ia bisa bernegosiasi dengan pengarang untuk melakukan perubahan-perubahan, supaya karya yang tampil ke publik menjadi lebih baik dan layak dikonsumsi. Namun, jangankan melakukan editing dalam soal logika dan jalannya cerita, tata bahasa saja banyak yang keliru.

Tumpulnya fungsi editor membuat novel itu tidak menjadi lebih baik. Maka, saya pun dengan mudah menemukan banyak hal yang bikin tak nyaman. Tengok saja, misalnya, pretensi pengarang untuk bermain-main dengan bahasa, berpuitis-puitis ria, sehingga makna menjadi gelap dan ngaur, perlambangan yang tak tepat, cerita yang berjalan lambat sekali, perpindahan adegan yang terasa membingungkan, hingga banyaknya penggambaran yang tidak perlu.

Karakter tokoh juga tidak digarap dengan baik. Bahkan terlihat tokoh-tokoh dalam novel itu punya karakter yang sama, baik dalam tingkah laku maupun cara berbahasa: semuanya puitis alias diputis-puitiskan. Bahkan, seorang peternak sapi perah pun berbicara dengan bahasa yang dipuitis-puitiskan itu, sehingga terkadang maksud dan artinya menjadi tidak jelas.

Pengarang lupa novel adalah sebuah dunia cerita, dunia yang menghadirkan sebuah peristiwa kepada sidang pembaca. Bagaimana pembaca bisa masuk dan mengikuti cerita jika ada sekat yang membuat pembaca dan cerita berjarak, yakni sekat berbahasa yang cenderung absurd dan tak jelas. Pengarang tidak menghadirkan dunia yang sesungguhnya, tapi sebuah dunia antah berantah, dunia puisi, yang sulit ketemu dengan dunia cerita.

Dunia cerita adalah dunia riil, terlepas yang menjadi bahan cerita adalah jagat fiktif. Pengarang mesti mampu menghadirkan realitas cerita itu dengan baik — ya adegan, dialog, narasi — ke dalam kepala pembaca. Sehingga, ketika membaca cerita itu pembaca seperti menonton film. Di situlah fungsi kata-kata: menyampaikan dan menggambarkan sesuatu agar hadir secara filmis dan membekas dalam ingatan pembaca.

Selain itu, pembaca sering dibuat “merana” oleh jalannya cerita. Banyak hal yang sebetulnya tidak perlu tapi tetap dibiarkan hadir. Itu sangat mengganggu jalan cerita. Padahal, ide cerita yang disuguhkan pengarang ini cukup menarik: tentang rekayasa bioteknologi. Ini sebuah ranah yang jarah dijamah oleh pengarang. Dari sisi ide, Lanang unggul.

Saya menduga, yang menyebabkan novel itu menang dalam sayembara novel DKJ tentulah karena kebaruan ide itu. Tapi, seperti saya katakan dalam diskusi itu dengan sebuah perumpamaan: sebuah rumah yang dibangun di tengah laut adalah ide dahsyat dan mengagumkan. Tapi jika rumah itu berantakan, atapnya miring, jendelanya mencong, dibuat dari bahan bangunan asal-asalan, nilai rumah itu segera runtuh.

Dengan kata lain, ide yang bagus jika tidak disampaikan dengan bagus akan membuat ide itu menurun nilainya. Tapi ide yang bagus jika disampaikan dengan cara yang bagus akan membuat hasilnya begitu luar biasa. Maka itu, saya tidak terlalu sepakat dengan sebagian kritikus sastra, termasuk Maman S Mahayana, yang menabukan kritik strukturalis terhadap karya sastra. Mereka lebih mendekati karya sastra secara subtantif, menggali sesuatu yang terpendam di sana, kekuatan karya itu.

Saya lebih senang melakukan kedua hal itu: menggabungkan kritik strukrualis dengan tinjauan substantif. Dengan begitulah sebuah karya akan terlihat utuh. Kalau kata orang arif, ide dan pikiran yang baik, tentulah akan lebih baik bila disampaikan dengan cara dan medium yang baik pula. Bila ide baik disampaikan dengan cara yang tidak tepat tentulah tak banyak orang yang tertarik dengannya.

Maka itu, dalam konteks novel Lanang ini, saya tetap memberi apresiasi terhadap upaya Yonathan Rahardjo untuk menyuguhkan sesuatu yang baru. Atau dalam bahasa Ahmad Tohari, juri dalam lomba itu, yang dikutip di sampul buku: “Kekuatan utama novel itu terletak pada wawasan baru yang mewarnainya…” Untuk soal ini, dua jempol untuk Yonathan.

Depok, 29 Mei 2008 pukul 00.40 WIB. MUSTAFA ISMAIL.


Respon oleh:
oleh:
ntonn
toni_katamin@yahoo.com


mari kita bahas Lanang, …

Kau pengen kita mulai dari mana, yang itu menjadi kelemahan Lanang? Tapi jangan seperti training jurnalistik tingkat dasar-nya Yusi. Kita benar-benar melakukan diskusi “sastra”, benar-benar masuk ke dalam ruang sastra (waduh, salah aku, menggunakan kata “benar-benar” dua kali kok dalam satu paragraf).

Aku kemarin bilang, Yonathan mirip R. Samin Surosentiko, bapak moyangnya Saminisme. Gayanya nyleneh, ndeso, bohemian, mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Yonathan dan Kyai Samin sami-sami amin.

Kalau Kyai Samin punya Serat Jamus Kalimasada yang dijadikan pedoman bagi para pengikutnya untuk membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, dan mewujudkan perintah “Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni,” Yonathan punya Lanang: “Biji kasih. Biji sukacita. Biji damai sejahtera. Biji kesabaran. Biji kemurahan. Biji kebaikan. Biji kesetiaan. Biji kelemahlembutan. Biji penguasaan diri. Menyatulah dalam diri kami! Selamanya... selama-lamanya!!!”

Renungkan itu!

Oh ya, satu lagi, sebelum kita diskusi kau perlu merenungkan (ah ngulang kata “renung” lagi) puisi penyair Indra Tjahyadi yang menurutku luar biasa ini: Ziarah atas burung-burung, cahaya dari rasa sakit yang bertumpuk, yang baru digali dari setiap kubur, seperti ikalan-ikalan topan, atau impian seribu gadis, dan pelacur. Puisi fantasi. Yang dibangun tanpa acuan realitas, atau "puisi membentuk realitas" tersendiri. Realitas puisi yang tidak perlu berurusan dengan realitas empirik.

Dan yang perlu diingat, menurut pola training jurnalistik tingkat dasar-nya Yusi yang kerap kalian jadikan referensi, susunan kata dalam puisi Indra Tjahyadi itu tidak memenuhi persyaratan minimal sebuah kalimat, larik-lariknya hanya berposisi sebagai subyek, tak ada predikat. Tapi dahsyat!



Ok, kita mulai diskusi.

Pertama, Lanang adalah pendobrakan Om Yo pada mindset selama ini, bahwa laki-laki itu superior, pemenang, berkuasa, dan kuat. Lanang di sini jauh dari itu, ia hanya pecundang yang dipecundangi. Meski judul besarnya “Lanang”, novel ini tidak begitu fanatik menghadirkan sosok hebat itu. Ini mestinya oleh Lisa dieksplor dari sudut analisis gender secara mendalam. Tidak sekadar memunculkan tiga iblis cantik. Kau pun sebagai moderator yang mendobrak normativitas, bisa juga turut mengurai itu secara meyakinkan. Tapi kalian tidak berani melakukan itu.

Kedua, seperti kemarin kubilang, kritik Yusi yang menyebutkan contoh ini sebagai "sains asal-asalan":
"Barangkali babi itu tersesat sampai pucuk gunung, sedangkan jalan untuk kembali ke daratan sangat sulit. Ia bergaul dengan burung-burung rajawali dan burung-burung penyendiri di puncak gunung. Bergaul dan melakukan adaptasi pola hidup. Tumbuh sayap pada tubuhnya."
Justru itu merupakan cara tersendiri Om Yo melontarkan kritik terhadap munculnya para "intelektual tukang" era sekarang yang instan. Rajawali dan burung-burung penyendiri adalah simbol korporasi sejagat: MNC/TNC, beserta agen-agen kapitalisme global. Terimpit oleh mereka, orang-orang menjadi pasrah dan putus asa. Memaksakan diri untuk menjelma seperti mereka, tapi tak bisa sepenuhnya; setengah-setengah. Akhirnya, menjadi dalam istilah Om Yo “Burung Babi Hutan”. Transgenik. Betul-betul babi, tidak. Dibilang burung juga tidak.

Ketiga, aku juga sudah sebut kemarin, “Biji kasih. Biji sukacita. Biji damai sejahtera. Biji kesabaran. Biji kemurahan. Biji kebaikan. Biji kesetiaan. Biji kelemahlembutan. Biji penguasaan diri. Menyatulah dalam diri kami! Selamanya... selama-lamanya!!!” Aku minta kau merenungkannya Diajeng, supaya membuka hatimu untuk bisa menerima kebenaran (wualah, lagi-lagi himbauan omong kosong dariku). Dan seandainya di dalam Lanang tetap ada kelemahan, ya justru sebagai sebuah karya dia harus ada kelemahan Dulu aku menggambarkannya mirip manusia, Karya Agung Tuhan Yang Maha Pencipta. Manusia adalah makhluk paling sempurna di antara makhluk lainnya di jagat raya ini. Dia sempurna justru lantaran punya kelebihan dan kekurangan. Tak perlu manusia menjadi malaikat yang begitu anggun tanpa pernah melakukan dosa, tak pernah manikur di salon, dan tak perlu kuliah ke luar negeri. Alangkah tidak menarik hidup seperti itu; hidup malaikat, tak ada tantangan.
Itulah Lanang, Diajeng. Penuh kerumitan, penuh labirin, penuh kerancuan, kelemahan dan kelebihan, semuanya utuh menjadi satu karya: “Lanang”. Lanang punya cara tersendiri menyampaikan dirinya. Dan sebagai pembaca, sebagaimana editor, tak perlu kita menghancurkan karakter penulisan Lanang dengan mendikte dan membebani keharusan-keharusan seperti harapan-harapanmu itu. Sehingga kau pun tertipu.
Dari Lanang kau bisa banyak belajar bagaimana memandang dan menilai si Buta. Karena si Buta tidak selalu buta.

Keempat, karena kita bukan dokter hewan, kita tidak begitu paham kelebihan dari sudut kedokteran hewan sebagaimana yang sejatinya dipahami kalangan kedokteran hewan. Cobalah kau gali itu, Lanang juga banyak dibahas mereka. Kau akan tergugah betapa Lanang menjadi sesuatu berharga.

Kelima, di ranah sastra, Lanang menghadirkan universalisme dalam sastra. Ia bagai samudra, begitu luas dan dalam. Siapa pun yang tak punya kesanggupan sekaligus keberanian mengarunginya, ia hanya menjadi seperti anak kecil yang baru belajar berenang, kecipak-kecipuk di pinggir pantai.
Lanang melampaui perdebatan panjang antara sastra kontekstual yang dimunculkan kalangan strukturalis dan sastra universal. Keduanya ia terima dan ia padu. Begitu pun sastra imajinasi “mengimajinasikan realitas” dan sastra fantasi, ia perlakukan sama.

Keenam, karena sesuatu yang baru, ia banyak diserang oleh “orang-orang pinter” yang patuh pada pakem. Mereka ramai-ramai ngrubuti Lanang. Menyerang dari 16 penjuru mata angin: “Bukan satu kekuatan yang kukubur. Bukan dua kuasa yang kuhunjam. Belatiku terlalu tumpul untuk memotong serangan maut ini. Apalagi mencacah sabetan-sabetan delapan bahkan enam belas penjuru arah.” Tapi kata Mbak Medy, “Tanpa melawan, Lanang tetap muncul.”

Ketujuh, terlalu berlimpah kalau aku tuliskan semua. Kapan-kapan saja kita bareng bikin buku tafsir atas Novel Lanang, tentu banyak alat bantu yang mesti kita punya: hermeneutik, filsafat, ilmu kedokteran hewan, balaghoh, dan masih banyak lainnya. Oh ya, jangan lupa, ilmu tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.


No comments: