Pages

Search Here

Kabarindo: Novel LANANG; Sebuah Thriller Science yang penuh dendam dan Cinta...

http://www.kabarindo.com/?act=dnews&no=241



30-May-2008 11:17:08 WIB
Kontributor : Teks: Arul Arista / Foto-foto: Eva-GKJ TIM (Kineforum)

Novel LANANG; Sebuah Thriller Science yang penuh dendam dan Cinta...

Hasil buah karya Yonathan Rahardjo sebagai pemenang Sayembara Novel DKJ 2006

Ada kritik reflektif dari Lisabona Rahman yang merasa tertipu dan Yusi Arianto P yang menggugat penyunting buku yang tidak detil dan cermat dalam novel LANANG.

Galeri Cipta III TIM Jakarta, Kabarindo – Novel dimaklumi sebagai hasil kerja sunyi senyap dari penulis yang punya imajinasi dan kemampuan menulis di atas rata-rata. Novel menjadi hasil karya tulis yang cukup melelahkan tapi menjadi candu bagi sebagian penulis untuk tidak dapat berhenti untuk menulis, Never Ending to write STOP. Apa yang dialami oleh Yonathan Rahardo kira-kira bernasib sama dengan sastrawan muda Indonesia lainnya.


Judul : LANANG

Penulis : Yonathan Rahardjo

Kategori serial : Alvabet Sastra

Editor : A. Fathoni

Cetakan : I, Mei 2008

Ukuran : 12,5 x 20 Cm

Tebal : 440 Halaman

ISBN : 978 – 979 – 3064 – 59 – 8

Harga : Rp. 55.000,-

sINOPSIS:

Doktor Dewi seorang antek korporasi asing. Berkepentingan memasok produk rekayasa genetika dari luar negeri, dia ciptakanlah hewan transgenic pnyebar virus penyakit, “ Burung Babi Hutan”. Sejak kemunculan makhluk aneh ini, area peternakan sapi perah tempat Lanang bekerja tiba-tiba terserang penyakit gaib. Ribuan api mati, warga pun gempar. Bersama pemerintah dan masyarakat, Lanang, dokter hewan yang cerdas, obsesif dan melankolis, sibuk mencari tahu penyebab kematian sapi perah. Seminar dan penelitian dilakukan, tapi penyakit misterius tak kunjung ketemu. Usaha ilmiah pun menemui jalan buntu. Lalu berkembanglah isu dari seorang dukun hewan bahwa biang keladi kematian sapi adalah Burung Babi Hutan, makhluk jadi-jadian. Polemik mistikisme tradisional versus bioteknologi modern pun menambah ruwet persoalan. Akankah proyek Doktor Dewi berjalan mulus ?

Novel ini ditulis dengan gaya thriller, plot cerita novel ini sungguh menegangkan. Karakter tokoh-tokoh pun rumit dan penuh intrik. Dengan pendekatan konspirasi, karya ini menjadi bacaan kritis bagi yang tertarik pada isu-isu social, psikologi, bioteknologi, dan politik kesehatan. Anda tentu masih ingat dengan polemic Namru 2 dan isu virus Flu Burung khan ? Sepertinya penulis novel masih terperangkap dengan isyu-isyu tersebut.

Siang itu digelar Diskusi Novel LANANG yang bertempat di Galeri Cipta III TIM, ada yang memuji tapi tak sedikit yang mengkritik seperti Lisa yang merasa tertipu dengan tulisan Lanang. Yang menarik ulasan Duta Besar Hungaria untuk Indonesia, Mihaly Illes yang mengatakan bahwa “Membaca novel ini, ia segera merasakan kemiripan dengan kesusasteraan Eropa abad ke-20, misalnya novel Perancis Plague (Penyakit Pes) karya Albert Camus atau karya-karya Geza Csath dalam kesusasteraan Hungaria: Kita harus menghadapi kehadiran simbolik, mistik, rasional dan irasional secara bersamaan. Sebagai “pemula” dalam kesusasteraan Indonesia, saya membandingkannya dengan Harimau-Harimau karya Mochtar Lubis. Musikalitas dan plastisitas deskripsi dalam novel ini luar biasa, seperti scenario film.

Hal yang sama pun dirasakan oleh Tim Kabarindo yang berkesempatan meliput bahwa novel LANANG ini sangat menarik untuk di angkat ke layar lebar. “Membaca “Lanang” seperti membaca puisi panjang. Membaca “Lanang” seperti berjalan di depan deretan etalase took. Ada berbagai macam hal dipajang, ada yang cantik, ada yang kotor. Mulai dari urusan koperasi, management, LSM, karakter flora fauna, profesi dokter hewan, mistik, agama, kecelakaan, cloning, labaoratorium, peternakan, libido, seks, penipuan, pelacuran dan lain sebagainya.

Tapi sebagai sebuah karya tulis yang sesuai dengan kaidah linguistic tetap mendapat kritikan pedas dan menohok dari sisi editorial. Yusi Avianto P merasa terganggu dengan deskripsi kalimat yang tidak realis dan banyaknya kalimat perulangan yang tidak perlu. Tentu saja ini tanggung jawab dari penyunting atau editor buku yang harus berhati-hati dan cerdas dan menelaah tiap hasil karya tulis, palagi Novel.



Selamat untuk Novel LANANG, Welcome to The Real Journalism and Art………….


oleh:
ntonn
toni_katamin@yahoo.com


mari kita bahas Lanang, …

Kau pengen kita mulai dari mana, yang itu menjadi kelemahan Lanang? Tapi jangan seperti training jurnalistik tingkat dasar-nya Yusi. Kita benar-benar melakukan diskusi “sastra”, benar-benar masuk ke dalam ruang sastra (waduh, salah aku, menggunakan kata “benar-benar” dua kali kok dalam satu paragraf).

Aku kemarin bilang, Yonathan mirip R. Samin Surosentiko, bapak moyangnya Saminisme. Gayanya nyleneh, ndeso, bohemian, mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Yonathan dan Kyai Samin sami-sami amin.

Kalau Kyai Samin punya Serat Jamus Kalimasada yang dijadikan pedoman bagi para pengikutnya untuk membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, dan mewujudkan perintah “Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni,” Yonathan punya Lanang: “Biji kasih. Biji sukacita. Biji damai sejahtera. Biji kesabaran. Biji kemurahan. Biji kebaikan. Biji kesetiaan. Biji kelemahlembutan. Biji penguasaan diri. Menyatulah dalam diri kami! Selamanya... selama-lamanya!!!”

Renungkan itu!

Oh ya, satu lagi, sebelum kita diskusi kau perlu merenungkan (ah ngulang kata “renung” lagi) puisi penyair Indra Tjahyadi yang menurutku luar biasa ini: Ziarah atas burung-burung, cahaya dari rasa sakit yang bertumpuk, yang baru digali dari setiap kubur, seperti ikalan-ikalan topan, atau impian seribu gadis, dan pelacur. Puisi fantasi. Yang dibangun tanpa acuan realitas, atau "puisi membentuk realitas" tersendiri. Realitas puisi yang tidak perlu berurusan dengan realitas empirik.

Dan yang perlu diingat, menurut pola training jurnalistik tingkat dasar-nya Yusi yang kerap kalian jadikan referensi, susunan kata dalam puisi Indra Tjahyadi itu tidak memenuhi persyaratan minimal sebuah kalimat, larik-lariknya hanya berposisi sebagai subyek, tak ada predikat. Tapi dahsyat!



Ok, kita mulai diskusi.

Pertama, Lanang adalah pendobrakan Om Yo pada mindset selama ini, bahwa laki-laki itu superior, pemenang, berkuasa, dan kuat. Lanang di sini jauh dari itu, ia hanya pecundang yang dipecundangi. Meski judul besarnya “Lanang”, novel ini tidak begitu fanatik menghadirkan sosok hebat itu. Ini mestinya oleh Lisa dieksplor dari sudut analisis gender secara mendalam. Tidak sekadar memunculkan tiga iblis cantik. Kau pun sebagai moderator yang mendobrak normativitas, bisa juga turut mengurai itu secara meyakinkan. Tapi kalian tidak berani melakukan itu.

Kedua, seperti kemarin kubilang, kritik Yusi yang menyebutkan contoh ini sebagai "sains asal-asalan":
"Barangkali babi itu tersesat sampai pucuk gunung, sedangkan jalan untuk kembali ke daratan sangat sulit. Ia bergaul dengan burung-burung rajawali dan burung-burung penyendiri di puncak gunung. Bergaul dan melakukan adaptasi pola hidup. Tumbuh sayap pada tubuhnya."
Justru itu merupakan cara tersendiri Om Yo melontarkan kritik terhadap munculnya para "intelektual tukang" era sekarang yang instan. Rajawali dan burung-burung penyendiri adalah simbol korporasi sejagat: MNC/TNC, beserta agen-agen kapitalisme global. Terimpit oleh mereka, orang-orang menjadi pasrah dan putus asa. Memaksakan diri untuk menjelma seperti mereka, tapi tak bisa sepenuhnya; setengah-setengah. Akhirnya, menjadi dalam istilah Om Yo “Burung Babi Hutan”. Transgenik. Betul-betul babi, tidak. Dibilang burung juga tidak.

Ketiga, aku juga sudah sebut kemarin, “Biji kasih. Biji sukacita. Biji damai sejahtera. Biji kesabaran. Biji kemurahan. Biji kebaikan. Biji kesetiaan. Biji kelemahlembutan. Biji penguasaan diri. Menyatulah dalam diri kami! Selamanya... selama-lamanya!!!” Aku minta kau merenungkannya Diajeng, supaya membuka hatimu untuk bisa menerima kebenaran (wualah, lagi-lagi himbauan omong kosong dariku). Dan seandainya di dalam Lanang tetap ada kelemahan, ya justru sebagai sebuah karya dia harus ada kelemahan Dulu aku menggambarkannya mirip manusia, Karya Agung Tuhan Yang Maha Pencipta. Manusia adalah makhluk paling sempurna di antara makhluk lainnya di jagat raya ini. Dia sempurna justru lantaran punya kelebihan dan kekurangan. Tak perlu manusia menjadi malaikat yang begitu anggun tanpa pernah melakukan dosa, tak pernah manikur di salon, dan tak perlu kuliah ke luar negeri. Alangkah tidak menarik hidup seperti itu; hidup malaikat, tak ada tantangan.
Itulah Lanang, Diajeng. Penuh kerumitan, penuh labirin, penuh kerancuan, kelemahan dan kelebihan, semuanya utuh menjadi satu karya: “Lanang”. Lanang punya cara tersendiri menyampaikan dirinya. Dan sebagai pembaca, sebagaimana editor, tak perlu kita menghancurkan karakter penulisan Lanang dengan mendikte dan membebani keharusan-keharusan seperti harapan-harapanmu itu. Sehingga kau pun tertipu.
Dari Lanang kau bisa banyak belajar bagaimana memandang dan menilai si Buta. Karena si Buta tidak selalu buta.

Keempat, karena kita bukan dokter hewan, kita tidak begitu paham kelebihan dari sudut kedokteran hewan sebagaimana yang sejatinya dipahami kalangan kedokteran hewan. Cobalah kau gali itu, Lanang juga banyak dibahas mereka. Kau akan tergugah betapa Lanang menjadi sesuatu berharga.

Kelima, di ranah sastra, Lanang menghadirkan universalisme dalam sastra. Ia bagai samudra, begitu luas dan dalam. Siapa pun yang tak punya kesanggupan sekaligus keberanian mengarunginya, ia hanya menjadi seperti anak kecil yang baru belajar berenang, kecipak-kecipuk di pinggir pantai.
Lanang melampaui perdebatan panjang antara sastra kontekstual yang dimunculkan kalangan strukturalis dan sastra universal. Keduanya ia terima dan ia padu. Begitu pun sastra imajinasi “mengimajinasikan realitas” dan sastra fantasi, ia perlakukan sama.

Keenam, karena sesuatu yang baru, ia banyak diserang oleh “orang-orang pinter” yang patuh pada pakem. Mereka ramai-ramai ngrubuti Lanang. Menyerang dari 16 penjuru mata angin: “Bukan satu kekuatan yang kukubur. Bukan dua kuasa yang kuhunjam. Belatiku terlalu tumpul untuk memotong serangan maut ini. Apalagi mencacah sabetan-sabetan delapan bahkan enam belas penjuru arah.” Tapi kata Mbak Medy, “Tanpa melawan, Lanang tetap muncul.”

Ketujuh, terlalu berlimpah kalau aku tuliskan semua. Kapan-kapan saja kita bareng bikin buku tafsir atas Novel Lanang, tentu banyak alat bantu yang mesti kita punya: hermeneutik, filsafat, ilmu kedokteran hewan, balaghoh, dan masih banyak lainnya. Oh ya, jangan lupa, ilmu tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.

No comments: