Pages

Search Here

Ryana Mustamin: Kronik pasar (kepada pecinta buku)

http://www.ryanamustamin.com/?p=189#comment-302


oleh Ryana Mustamin

August 28th, 2008



DEAR,

Saya mau berbagi cerita. Jangan bilang ini cerita basi, ya. Wong saya memang bukan wartawan yang harus melaporkan berita terkini, teraktual. Saya ingin berkisah tentang dua buku yang belum lama ini diluncurkan di pasar. Buku pertama, judulnya “Lanang”, ditulis Yonathan Rahardjo. Buku kedua, bertajuk “Provokasi”, ditulis Prasetya M. Brata.

Saya cerita buku pertama dulu.

Beberapa bulan lalu, tepatnya 23 Mei 2008, saya mampir ke Galeri Cipta 3, TIM. Eh, bukan mampir ding. Sengaja. Bahkan curi waktu, lari dari kantor. Itu karena saya pernah janji pada diri sendiri akan hadir di peluncuran “Lanang”.

Sampai dibela-belain begitu? Iya. Pertama, karena Mas Yo, penulisnya, adalah sosok yang saya kenal. Kedua, pada dasarnya saya juga pelahap buku - momen peluncuran atau diskusi buku terlalu menarik untuk diabaikan. Ketiga, karena ini buku sastra.

Kenapa dengan sastra rupanya? Nah, mungkin kisah “Lanang” bisa menjelaskan dengan cara yang lebih baik.

“Lanang”, seperti yang sudah banyak ditulis, adalah salah satu pemenang harapan sayembara novel yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Jamaknya, Lanang pasti telah melewati lubang jarum dong. Karya ini pasti lumayan tangguh - hingga mampu menundukkan ‘keangkuhan’ para juri yang (pastinya juga) gak dipilih secara serampangan oleh DKJ.

Tapi coba lihat diskusi siang itu. Di depan, duduk Yusi Arvianto Pareanom - seorang cerpenis, bertindak sebagai panelis. Ia didampingi Lisabona Rahman (yang sumpah, namanya baru saya denger sekali ini. Saya emang kurang gaul yak…). Lalu ada Anya Rompas, kepala suku milis Buma (Bunga Matahari) yang mengatur lalu lintas diskusi.

Dua panelis, Yusi dan Lisa ‘membantai’ habis Lanang. Yusi banyak menyoal logika berpikir penulisnya - yang tercermin dalam logika bahasa Lanang. Sementara Lisa banyak menggugat Yonathan dalam memaknai sosok perempuan - yang sialnya dalam Lanang memang hampir seluruhnya antagonis.

Jika kamu tidak terbiasa di lingkungan komunitas sastra yang kritis, keluar dari Galeri Cipta siang itu, benakmu pasti menolak membawa pulang Lanang. Lanang versi Yusi dan Lisa nyaris tidak memiliki sisi baik. Sebagai karya sastra, Lanang mungkin tergolong ‘gagal’.

Sejelek itu? Tidak juga. Hanya saja, sisi baik itu tidak mendapat tempat yang memadai di ruang diskusi siang itu. Sebagai sesama pecinta buku, saya yakin kamu pasti lebih percaya pada mata kepala dan pikiranmu sendiri. Apalagi untuk karya sastra.

Sastra, menurutku, adalah karya yang paling nuansif. Kemungkinan-kemungkinan yang terbuka dari sisi tekstual adalah wilayah tak berbatas. Multi tafsir. Meski setiap kata mengandung ‘ideologinya’ sendiri - yang sejatinya adalah independen. Tapi ideologi itu merasuk mempengaruhi pikiran pembacanya dengan cara-cara sebagaimana yang diinginkan oleh pembaca itu sendiri. Karya sastra di tangan pembaca, pada akhirnya bisa sangat independen - lepas dari jangkauan penulis dan pembacanya. Tapi bisa juga sangat dependen. Lanang di tanganmu, belum tentu Lanang yang dimaksudkan Mas Yo - dan belum tentu juga serupa yang dimaksudkan Yusi dan Lisa. Tapi, tidak menutup kemungkinan kamu menyimak Lanang sebagai bagian intrinsik dari Mas Yo.

Lanang dan penulisnya memiliki kemiripan. Sama-sama dokter hewan.Tapi sebagai pecinta buku, kamu tentu lebih punya waktu mengencani Lanang - dan karenanya lebih memahaminya, ketimbang mengencani penulisnya - kecuali kalau Mas Yo memang bersedia kencan dengan kamu. Lanang, dari hasil pergumulan saya dengan dia, tetap punya sisi yang menurutku ‘seksi’, meski dia sedikit menjemukan. Ia mengusung isu yang tidak hanya berwarna, tapi juga tidak biasa.

Melalui Lanang kamu akan memergoki adonan isu yang cukup mutakhir: rekayasa genetik, bioteknologi, isu lingkungan, kritik sosial, hingga intrik-intrik politik pelaku dunia kesehatan hewan di tanah air. Novel setebal 414 halaman ini juga mengaduk-aduk hal-hal berbau religi dan mistis. Yang medis dan nonmedis.Yang rasional dan irasional. Yang riil dan absurd. Bahkan untuk urusan moral, kemunafikan, cinta, perselingkuhan dan seks.

Kurasa, Mas Yo menempuh jalan yang tidak mudah untuk mewujudkan novel ini. Di luar urusan ilmu kesehatan hewan - yang menurutku justru harus ditulisnya dengan sangat hati-hati lantaran menyangkut pertanggungjawaban disiplin ilmu dan profesinya, Mas Yo pasti melakukan upaya kontemplatif dan observasi mendalam sebelum akhirnya memutuskan bicara soal sisi malaikat dan iblis dari makhluk bernama manusia - yang dalam Lanang notabene menyandang predikat sebagai dokter hewan.

Sampai di sini, bisa saya pahami mengapa juri DKJ sampai menasbihkannya menjadii salah satu pemenang. Tema novel ini langka. Belum disentuh oleh penulis sastra mana pun di Indonesia.

Tapi itu semua nyatanya tidak cukup untuk bicara di jagad sastra. Mas Yo bahkan butuh waktu berbulan-bulan hanya untuk mencari penerbit yang bersedia menerbitkan karyanya. Begitu karya itu berhasil diterbitkan, ia malah dihadang oleh ‘berikade’ pasar.

Untuk urusan ‘merebut panggung’, dunia sastra memang terkenal cukup kejam. Mas Yo yang lain (Johannes Soegianto - kepala suku Paguyuban Sastra Rabu Malam), mengklaim ada 3 kantong sastra di Jakarta - Bentara Budaya KKG, TIM, dan Komunitas Utan Kayu (yang sebentar lagi mungkin akan lebih popular dengan nama Komunitas Salihara) yang tampak sangat digdaya untuk menasbih apakah sebuah buku sastra bisa ‘bicara’ atau tidak. Di luar itu, ada sejumlah pengamat dan penulis independen yang karena ‘tradisi sastra’, terbiasa melancarkan kritik - diminta atau tidak diminta, sadar atau tidak sadar. Panggung sastra, konon, tak sekadar ‘perebutan kekuasaan’, tapi juga menyangkut ‘perebutan ideologi’.

Tak heran, Mas Yo Lanang bahkan merasa harus mendirikan ‘komunitas pembaca novel Lanang’ untuk melawan hegemoni itu. Akibatnya, pro-kontra Lanang terus meriuh di ruang-ruang sastra: di dunia nyata dan di mayantara (milis dan blog).

Lanang dikritik, Lanang dipuji.

***

DEAR,

Sekarang, saya ingin cerita tentang buku ke-2: Provokasi - sebuah buku bergenre chicken soup, yang ditulis Mas Prass - sahabat saya juga.

Provokasi sebetulnya jenis “blook” - buku yang diangkat dari tulisan blog. Sebagai catatan-catatan lepas dan ringan, Provokasi pada awalnya cukup menarik. Tentu, karena tendensinya lebih ke pembelajaran pada diri sendiri bagi si empunya blog - meski di sana-sini kerap muncul kesan menggurui (maklum, mas Prass dosen dan trainer. Jadi naluri mengajarnya mungkin gak bisa dilepaskan). Di Provokasi, Mas Prass seperti membangun sejumlah rambu di sekeliling untuk mengingatkan dirinya: bahwa segala sesuatu harus dilihat dengan pikiran positif. Syukur-syukur jika orang lain yang membaca ikut memaknai demikian.

Ketika mendengar kabar pertama tentang rencana diterbitkannya tulisan blog Mas Prass oleh Gramedia, saya sebetulnya agak surprise juga. Pertama, karena saya tahu, Mas Prass belum memiliki rekam-jejak sama sekali di dunia penulisan. Saya dan dia kebetulan pernah bekerja dalam satu ruangan, satu tim, dan saya mengikuti proses awal-awal dia mulai menulis artikel untuk konsumsi media internal.

Hal kedua, karena konteks buku itu sendiri. Sebagai konsumsi blog pribadi, Provokasi menarik. Tapi sebagai ‘calon buku’, ceritanya lain lagi. Buku dalam preferensi saya,harus digarap lebih serius. Di dunia sastra - dan saya kira juga di dunia sains, tradisi perbukuan menyangkut pertanggungjawaban publik. Sebagai teks, ia harus memenuhi kaidah tertentu - baik dari aspek isi, maupun gaya dan metode penulisan. Provokasi, dalam hemat saya, adalah teks yang sangat biasa. Dari pilihan kata dan struktur tulisan, tak ada yang istimewa. Content-nya pun jika ditelisik, tidak akan jauh bedanya dengan buku-buku sejenis. Jika kamu sering menyimak buku-buku model chicken soup, kamu akan paham dengan apa yang saya maksudkan. Di buku-buku jenis ini semua pesan sama: tak ada ruang untuk sisi iblis manusia. Kamu akan selalu didorong untuk menjadi ‘malaikat’.

Sebagai penulis pemula, meski ada kesan bangga bisa menelurkan buku di bawah label Gramedia, namun tampaknya Mas Prass tidak cukup percaya diri dengan karyanya. Di catatan pengantar yang menyertai peluncuran bukunya pada Mei lalu, ia menulis:

“Ketika saya butuh buku ini diberi nuansa otoritas, hadir Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat - Ana), Andrias Harefa, Rhenald Kasali, Miranty Abidin, Adiwarman Karim, dan sederet nama-nama beken lainnya …. Ketika saya butuh buku ini dikenal, hadir Ira Maya Sopha, Pak Vincent Tuadi, Agung Suharto, Pak Fachri, Riri, dan sahabat-sahabat yang punya segudang ide ….”

Apakah tanpa ‘meminjam’ otoritas nama-nama beken itu, Mas Prass tidak percaya bukunya akan diterima pembaca? Entahlah. Sebagai pembelajar ilmu marketing, Mas Prass tampaknya melihat buku semata komoditas. Jadi, yang pertama dipikirkan, bagaimana agar buku itu marketable. Padahal, jika buku itu memang sejatinya bernas, siapa yang bisa menahan lajunya untuk menelusup atau bahkan merampok ruang-ruang pikiran pembaca?

Tapi memang di sinilah simpul keberuntungan Provokasi. Pertama, dia berada di tengah masyarakat yang haus akan buku-buku praktis. Masyarakat kita tengah ‘sakit’. Individualistis, hedonisme, degradasi moral, tumbuh subur di ruang-ruang publik kita. Di antara kita banyak yang mengidap penyakit akut: teralienasi dari lingkungan, bahkan kehilangan jatidiri. Orang-orang ini butuh ‘pertolongan’ untuk bangkit, menemukan kembali dirinya.

Sebetulnya, banyak buku-buku yang mengulas fenomena ini secara mendalam. Buku yang lebih substansial, tidak sekadar ‘permukaan’. Hanya sayangnya, masyarakat kita umumnya tidak memiliki tradisi literary yang baik, kita bukan pembaca yang tekun. Orang-orang kita umumnya menyukai segala sesuatu yang instant, yang gampang dimamah. Seperti menelan obat sakit kepala yang cespleng.

Jalaluddin Rakhmat sendiri mengakui hal itu saat berbicara dalam peluncuran buku Mas Prass. Menurutnya, buku-buku jenis Provokasi ini adalah jenis buku yang bakal menjadi best seller. Kang Jalal menunjuk fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan juga di Amerika - yang notabene masyarakatnya lebih melek buku. Di sana, menurutnya, ia bahkan pernah menemuka buku yang halamannya ratusan, namun setiap halaman hanya berisi satu kalimat penyemangat. “Dan best seller!” katanya. Ia membandingkan dengan kerja keras dan proses kreatif yang ditempuhnya ketika menggarap buku Psikologi Komunikasi. “Saya sampai butuh waktu berbulan-bulan hanya untuk riset dan studi pustakat!” (Saya penggemar berat buku Psikologi Komunikasi lho, Kang! - Ana).

Keberuntungan kedua Mas Prass, adalah dia berada di komunitas yang tidak mengenal kata ‘pembantaian’. Pada acara peluncuran buku Provokasi misalnya, tidak ada diskusi kritis tentang content buku itu. Yang berhamburan di udara seluruhnya adalah pujian - sesuatu yang begitu mahal bisa kamu dapatkan dalam diskusi sastra. Bahkan ketika kamu melahirkan buku yang mungkin sangat bernas (dan berhasil meraih sejumlah pernghargaan internasional seperti “Saman”nya Ayu Utami, misalnya) - itu tidak akan membebaskan kamu dari kritikan pedas.

Komunitas Mas Prass berbeda. Mereka menyebut diri motivator. Andrias Harefa - yang kali ini seolah bertindak sebagai ‘promotor’ Mas Prass bahkan digelari “sang manusia pembelajar”. Di ruang-ruang training, orang-orang semacam ini senantiasa meniupkan semangat, membesarkan hati. Saking optimisnya, komunitas ini menyebut mimpi-mimpi mereka sebagai intention, niat. Mereka pantang membuat diri sendiri dan orang lain patah semangat. Apalagi sampai tersungkur.

Karena itu, tidak perlu heran ketika baru menelurkan sebuah buku, oleh komunitasnya, Mas Prass sudah dijuluki penulis buku best-seller, meski saat itu belum jelas benar berapa copy bukunya terjual. Sejak awal, ia memang sudah dipatron demikian (dan asal tahu aja, ternyata bukunya kemudian benar-benar akan dicetak ulang). Mas Prass dan teman-temannya, menurutku, adalah penganut keyakinan “the self fulfilling prophecy” - peristiwa di masa mendatang terbentuk oleh pikiran kita saat ini.

Ketika tulisan ini saya buat, Mas Prass masih digadang-gadang di radio, dibuatkan semacam kapsul monolog yang mengudara pada jam-jam tertentu. Dalam tempo singkat, ia menjelma menjadi ‘seleb’, menyandang atribut yang sangat ‘gagah’, “mind provocateur. Ia mengikuti jejak sejumlah pendahulunya yang sudah lebih awal terjun sebagai motivator.

Provokasi memang bernasib baik …

***

DEAR,

Pada seorang petinggi sebuah penerbit terkemuka, saya pernah bertanya: mengapa kriteria untuk menerbitkan naskah di tempatnya kini tampak demikian longgar? Ia menjawab dengan sangat realistis: penerbitan adalah bisnis. Jika kita mencium bau duit di dalam naskah itu, mengapa harus ditolak? Tentu, tanpa mengesampingkan visi untuk tetap menerbitkan buku berkualitas. “Menerbitkan buku berkualitas dan menerbitkan buku yang bakal laku di pasar, adalah dua hal berbeda!” katanya.

Saya jadi ingat, ketika menghadiri peluncuran buku Provokasi, di dalam goodybag saya menemukan leaflet, dari Anderias Harefa. Isinya, tawaran untuk mengikuti kelas pelatihan, “bagaimana menulis buku best seller” Saya tersenyum ketika itu. Jadi, ini memang wacana marketing: bukan produknya yang penting benar, tapi lebih penting dari itu adalah kemasannya …

Kini, di tangan saya ada surat pernyataan kesediaan sebuah penerbit untuk menerbitkan (calon) buku saya - bahkan ketika saya belum menulis apa-apa. Secara bercanda, saya bertanya, “Apakah kita akan menerbitkan buku berkualitas, atau menerbitkan buku yang bakal menjadi best seller?”

“Mengapa tidak dua-duanya?” tukasnya.

Dan saya tersenyum. Saya paham, saya menjelma pengecut: ini bukan pekerjaan mudah.***





Discussion
4 comments for “kronik pasar (kepada pecinta buku)”
Tulisan yang bagus Na … thanks untuk terus memberi peringatan kesadaran akan hakikat dan tujuan provokasi terbit. Smart FM minta di akhir kapsul provokasi disebutkan : ‘untuk permintaan training, hubungi .. sekian sekian sekian’ .. aku tolak.

Kemasan dicreate oleh orang2 sekitarku karena aku ingin buku provokasi menjadi rahmat buat siapapun, mendatangkan rejeki buat siapapun. Lauching dibiayai secara finansial sebagian besar oleh pribadi dan sebagian kecil oleh Bumida, Marein. Bahkan promosi Bumiputera tidak aku kejar sponsorshipnya. Bahkan aku nggak pernah minta on air di radio-radio, yang akhirnya aku artikan sebagai misi yang dibebankan Tuhan kepadaku memperluas ‘dakwah’ bergaya provokasi itu ke publik lebih luas lagi .. suatu kepercayaan dari Allah yang musti aku pertanggungjawabkan dengan baik …


Posted by Prasetya M. Brata August 31, 2008, 3:45 am
Na, waah aku jadi makin penasaran neh baca buku Lanang. Soalnya aku dah pinjem hari kamis kemaren dari Perpustakaan ANU… Somehow buku itu menarik hatiku untuk meminjam. Tapi berhubung ada assignment yg due hari Senin dan ada 2 midtest, jadi terpaksa deh buku itu disisihkan dulu….


Posted by Uti Brata August 31, 2008, 4:08 am
@ mas prass, sebenarnya gak ada yang ’salah’ sih, menurutku. Tuhan tengah sangat berbaik hati pada mas prass saat ini. begitu banyak orang yang ingin menikmati ‘keberuntungan-keberuntungan’ seperti yang diterima mas prass, sampai jungkir balik. sampai ‘berdarah-darah’. tapi, belum tentu dapet. jadi, nikmati aja. sepanjang itu dimaknai karunia.


Posted by Ryana Mustamin September 1, 2008, 5:11 am
@halo Uti,
aq jd mau memprovokasi: baca lanang deh (jangan baca provokasi doang!). biar penulisnya senang (hehehe … aq diplototin mas yo ama mas prass neh!).


Posted by Ryana Mustamin September 1, 2008, 5:18 am
Terimakasih Mbak… saya kopi paste ya (minta ijin yg pasti diijinkan hehe…) utk dipasang di novellanang.co.cc

ahli komunikasi memang diperlukan untuk promosi buku, dan ahli itu sdh menuliskannya di atas.maka saya bangga, teman seniorku yg baik mau menuliskannya utkku…

:)) aku bahagia… utk itu makasih lagi kukata

2 comments:

Mind Provocateur said...
This comment has been removed by the author.
Mind Provocateur said...

Seorang sahabat mengatakan, tulisan Ana tidak berimbang, seperti membandingkan Duren dengan Semangka, dan cenderung membunuh karakter PROVOKASI sebagai buku non-fiksi. Tulisan ana adalah 'peta' Ana sendiri dengan pisau analisisnya sendiri. Karena 'peta' bukanlah 'wilayah', agar pembaca blog ini mendapat gambaran lebih jelas mengenai 'wilayah', silakan simak tulisan di http://provokasi-prass.blogspot.com/ 2008/09/mutiara-dari-ana.html