Pages

Search Here

Sinar Harapan: Lanang di Antara Perbedaan Estetik Para Jawara

“Lampion Sastra”Pembacaan Karya Jawara dan Perbedaan Estetik

oleh Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan 13 Maret 2007

Jakarta–Penataan panggung itu memang sangat artistik secara teater. Dengan bangku dan meja yang penuh dengan buku-buku, semacam makalah atau manuskrip, para peserta pemenang lomba novel membacakan karyanya di depan para penonton di Sanggar Baru Taman Ismail Marzuki, Jumat (16/3).

Dari para Pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) 2006, hanya Juara I Mashuri, Harapan II Yonathan Rahardjo yang membacakan karyanya sendiri. Sedangkan petikan “Jukstaposisi” karya Calvin Michel Sidjaja dibacakan oleh Bambang Ismantoro (Be’i), “Glonggong” karya Junaedi Setiyono dibaca oleh Elsa Surya, “Mutiara Karam” karya Tusiran Suseno dibaca oleh Haris Priadie Bah.Ternyata, tak semua orang menyambut keartistikan panggung karena yang dibuat materi penghiasnya adalah karya-karya yang kalah. “Kenapa karya-karya itu dijadikan layang-layang.

Bagaimana kalau penulisnya hadir dan karyanya diperlakukan seperti itu,” ujar Geger. Bagi A Badri AQT, juga penulis, misalnya, yang kalah atau yang menang adalah karya kreatif.Sekali pun aktivis teater yang mendapatkan “mandat” dari Komite Sastra, Yanto Le Honzo, misalnya, mengatakan secara teater bahwa novel yang digantung dan ditumpuk itu adalah metafor “stalagtit dan stalagmit yang bermunculan, bak karya sastra dan penulis yang terus tumbuh di atmosfer kesusastraan”.

Di luar kebahagiaan dan iklim positif dari karya-karya para pemenang novel yang kemudian digelar dalam acara Lampion Sastra 2, Pembacaan Petikan Novel-novel Pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ 2006, dengan tajuk “Beraksinya Jawara-jawara Baru”, event para pemenang ini terasa kurang ramai oleh pengunjung.

Dengan penonton tak lebih dari seratus, Mariana Amiruddin, penulis yang juga aktivis di Jurnal Perempuan, misalnya, mengungkapkan bahwa kegiatan semacam ini sudah sepantasnya diadakan di tempat yang terpusat dan lebih besar seperti Graha Bakti Budaya atau Teater Kecil, dengan pemberitaan yang lebih santer lagi. Bukan di Sanggar Baru yang letaknya di pojok dan hanya dimengerti oleh orang-orang di komunitas kota Jakarta saja.

Namun, seperti ungkapan Ketua Komite Sastra, Zen Hae, bahwa kegiatan ini harus dijatuhkan temponya dekat dengan momen pengumuman para pemenang – yang diadakan di Teater Kecil pada lalu – acara ini “agar publik sastra tetap segar ingatannya”. Acara ini tetap akan diteruskan lagi pada bulan Mei mendatang berupa diskusi karya.

Yanto juga mengungkapkan bahwa Lampion Sastra juga merupakan event penting dan rutin yang sudah diketahui oleh publik di Jakarta.Apresiasi dan “Jurus Jawara”“Inilah para jawara yang akan menjadi selebritas baru di dunia sastra Indonesia,” ujar Zen.

Ungkapan ini menjadi angin segar buat perubahan iklim kesusastraan baik di tengah lamanya anggapan tentang kemandulan penulis lelaki hingga lesatan sastra wangi yang bak meteor. Dari lima novelis yang menang, hanya satu yang tercatat sebagai warga Jakarta, rata-rata pemenang yang berdomisili di luar daerah itu menjadi aktivis di komunitasnya masing-masing.

“Kami berharap pembacaan petikan novel juara ini akan menyemarakkan kegiatan apresiasi sastra di Jakarta dan di sekitarnya. Kami juga berharap khalayak bisa merasakan langsung kekuatan jurus sastrawi para jawara ini,” ujar Zen, sebagaimana ditulis di katalogus acara ini.

Sebutlah Mashuri, sastrawan Pemenang Pertama yang alumni Fakultas Sastra Universitas Airlangga dari komunitas Gapus (Gardu Puisi) dan Forum Sastra Luar Pagar (PSLP), membacakan novel Hubbu di tengah ajang. “Hubbu, juga menafsir tentang mimpi. Kita tahu hujan gak hujan bisa mengetahui, caranya dari melihat primbon. Nanti kalau di antara para penonton ini mau konsultasi, bisa temui saya setelah acara ini,” ujar Mashuri, memancing reaksi penonton.

Selain para pembaca karya yang umumnya teaterawan, Yonathan Rahardjo dan Mashuri membaca karyanya lebih kepada efek puitis. Dengan suara Mashuri yang lirih dan suara Yonathan Rahardjo yang lantang – hanya Yonathan yang berjalan keluar dari “arena meja dan kursi” ke tengah panggung hingga mendekati penonton.

Sedangkan para teaterawan yang hadir seperti Be’i, Elsa atau Haris membacakannya dengan gaya teaterikal dengan menghidupkan suara-suara berbeda pada tiap tokoh di dalam karya. Haris, malah menangis pada figur tokoh perempuan Suri dan ayahandanya Encik Bakak, sehingga dialog para tokoh pun menjadi lebih hidup.n

No comments: