Sayembara Novel DKJ
Novelis Daerah Mulai Bergairah
Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kembali memunculkan novelis-novelis muda, seperti penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya. Deretan nama seperti Ayu Utami dan Achmad Tohari pernah dimunculkan oleh kompetisi ini. Kali ini dalam Sayembara Novel DKJ 2006, memunculkan nama Calvin Michel Sidjaja yang notabene masih tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Parahyangan, Bandung.
Meskipun hanya menempati posisi ketiga, kehadiran Calvin sepertinya bisa menjadi bukti bahwa dunia roman Indonesia masih terus berkembang dan belum berhenti.
"Hasrat untuk menjadi penulis sastra, terutama novel masih terus menghinggapi kaum muda kita. Memang, sebagian besar peserta kali ini datang dari kalangan muda," ujar Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Marco Kusumawijaya, dalam Malam Anugerah Sayembara Novel DKJ 2006 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (9/3).
Dalam catatan Marco, setiap tahunnya peserta sayembara novel ini selalu bertambah. Tahun 2003, dewan juri hanya menyeleksi sekitar seratus naskah saja, tetapi pada penyelenggaraan tahun 2006 ini, ada 249 naskah yang masuk. Bagi Achmad Tohari, salah satu anggota dewan juri, jumlah naskah ini sudah mampu membuat dewan juri "mabuk naskah".
"Itu mungkin yang membuat dewan juri yang lain tidak hadir saat ini. Cerita paling pendek berjumlah 152 halaman," kela- karnya sebelum membacakan nama-nama pemenang. Achmad Tohari malam itu menggantikan Prof Apsanti Djokosujatno sebagai ketua dewan juri yang seharusnya membacakan keputusan dewan juri.
Kembali ke catatan Marco, meskipun penyelenggara sayembara adalah DKJ, tidak menutup peserta kompetisi ini berasal dari daerah lain. "Kali ini hanya ada satu pemenang yang berasal dari Jakarta. Memang sejak dahulu kompetisi ini sudah bertaraf nasional, sehingga banyak novelis-novelis dari daerah lain ikut serta," ujarnya.
Dalam Sayembara Menulis Novel DKJ 2006 yang diumumkan Jumat (9/3) malam, pemenang pertama jatuh pada Mashuri, dengan karyanya yang berjudul Hubbu. Pemenang kedua dipegang oleh Tusiran Suseno dengan ceritanya yang berjudul Mutiara Karam, dan posisi ketiga dipegang oleh Calvin Michel Sidjaja dengan cerita yang berjudul Jukstaposisi.
Masing-masing pemenang mendapatkan hadiah uang sebesar Rp 20 juta untuk pemenang pertama, Rp 15 juta untuk pemenang kedua, dan Rp 10 juta untuk posisi ke tiga. Selain ketiga pemenang itu, juri juga memutuskan Junaedi Setiyono dengan karyanya yang berjudul Glonggong sebagai pemenang harapan pertama dan Yonathan S Rahardjo sebagai pemenang harapan kedua.
Achmad Tohari menyebutkan penilaian dewan juri hanya berdasarkan sisi pandang kesusastraannya saja. Tidak menutup kemungkinan yang tidak menjadi pemenang malah akan menjadi best seller di pasaran.
"Harus dimengerti kaca mata dewan juri dan kaca mata penerbit berbeda sekali, jadi jangan berkecil hati untuk yang tidak menang, bisa saja karyanya laku di pasaran, apalagi hampir semua karya yang masuk ke juri sebenarnya layak untuk naik cetak," ujarnya.
Sayembara novel ini memang bisa menjadi parameter dunia roman di Indonesia, antusiasme kalangan muda masih memiliki apresiasi yang tinggi terhadap dunia sastra. Budayawan yang juga mantan menteri pendidikan nasional, Daoed Joesoef, menyebutkan karya sastra merupakan salah satu indikator perkembangan peradaban sebuah bangsa, dan saat ini dunia sastra Indonesia masih ada yang bisa di lihat.
Namun begitu Daoed melihat ada perkembangan yang kurang baik dalam pengembangan bahasa Indonesia itu sendiri. "Saat ini, pemerintah memberikan keleluasaan kepada sekolah-sekolah internasional yang mewajibkan penggunaan bahasa asing dalam pengantarnya. Sedikit banyak hal ini menjadi ancaman terhadap eksistensi bahasa Indonesia itu sendiri," ujarnya.
Daoed menyayangkan jika semua sekolah akan berlomba-lomba meningkatkan mutu dengan menggunakan bahasa asing sebagai pengantar. Ia mengingatkan, pemuda-pemuda di awal pergerakan kemerdekaan sudah sepakat dan berjanji akan mengusung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, jika saat ini dilupakan maka sama saja melupakan para pendahulu bangsa. [K-11]
Meskipun hanya menempati posisi ketiga, kehadiran Calvin sepertinya bisa menjadi bukti bahwa dunia roman Indonesia masih terus berkembang dan belum berhenti.
"Hasrat untuk menjadi penulis sastra, terutama novel masih terus menghinggapi kaum muda kita. Memang, sebagian besar peserta kali ini datang dari kalangan muda," ujar Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Marco Kusumawijaya, dalam Malam Anugerah Sayembara Novel DKJ 2006 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (9/3).
Dalam catatan Marco, setiap tahunnya peserta sayembara novel ini selalu bertambah. Tahun 2003, dewan juri hanya menyeleksi sekitar seratus naskah saja, tetapi pada penyelenggaraan tahun 2006 ini, ada 249 naskah yang masuk. Bagi Achmad Tohari, salah satu anggota dewan juri, jumlah naskah ini sudah mampu membuat dewan juri "mabuk naskah".
"Itu mungkin yang membuat dewan juri yang lain tidak hadir saat ini. Cerita paling pendek berjumlah 152 halaman," kela- karnya sebelum membacakan nama-nama pemenang. Achmad Tohari malam itu menggantikan Prof Apsanti Djokosujatno sebagai ketua dewan juri yang seharusnya membacakan keputusan dewan juri.
Kembali ke catatan Marco, meskipun penyelenggara sayembara adalah DKJ, tidak menutup peserta kompetisi ini berasal dari daerah lain. "Kali ini hanya ada satu pemenang yang berasal dari Jakarta. Memang sejak dahulu kompetisi ini sudah bertaraf nasional, sehingga banyak novelis-novelis dari daerah lain ikut serta," ujarnya.
Dalam Sayembara Menulis Novel DKJ 2006 yang diumumkan Jumat (9/3) malam, pemenang pertama jatuh pada Mashuri, dengan karyanya yang berjudul Hubbu. Pemenang kedua dipegang oleh Tusiran Suseno dengan ceritanya yang berjudul Mutiara Karam, dan posisi ketiga dipegang oleh Calvin Michel Sidjaja dengan cerita yang berjudul Jukstaposisi.
Masing-masing pemenang mendapatkan hadiah uang sebesar Rp 20 juta untuk pemenang pertama, Rp 15 juta untuk pemenang kedua, dan Rp 10 juta untuk posisi ke tiga. Selain ketiga pemenang itu, juri juga memutuskan Junaedi Setiyono dengan karyanya yang berjudul Glonggong sebagai pemenang harapan pertama dan Yonathan S Rahardjo sebagai pemenang harapan kedua.
Achmad Tohari menyebutkan penilaian dewan juri hanya berdasarkan sisi pandang kesusastraannya saja. Tidak menutup kemungkinan yang tidak menjadi pemenang malah akan menjadi best seller di pasaran.
"Harus dimengerti kaca mata dewan juri dan kaca mata penerbit berbeda sekali, jadi jangan berkecil hati untuk yang tidak menang, bisa saja karyanya laku di pasaran, apalagi hampir semua karya yang masuk ke juri sebenarnya layak untuk naik cetak," ujarnya.
Sayembara novel ini memang bisa menjadi parameter dunia roman di Indonesia, antusiasme kalangan muda masih memiliki apresiasi yang tinggi terhadap dunia sastra. Budayawan yang juga mantan menteri pendidikan nasional, Daoed Joesoef, menyebutkan karya sastra merupakan salah satu indikator perkembangan peradaban sebuah bangsa, dan saat ini dunia sastra Indonesia masih ada yang bisa di lihat.
Namun begitu Daoed melihat ada perkembangan yang kurang baik dalam pengembangan bahasa Indonesia itu sendiri. "Saat ini, pemerintah memberikan keleluasaan kepada sekolah-sekolah internasional yang mewajibkan penggunaan bahasa asing dalam pengantarnya. Sedikit banyak hal ini menjadi ancaman terhadap eksistensi bahasa Indonesia itu sendiri," ujarnya.
Daoed menyayangkan jika semua sekolah akan berlomba-lomba meningkatkan mutu dengan menggunakan bahasa asing sebagai pengantar. Ia mengingatkan, pemuda-pemuda di awal pergerakan kemerdekaan sudah sepakat dan berjanji akan mengusung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, jika saat ini dilupakan maka sama saja melupakan para pendahulu bangsa. [K-11]
No comments:
Post a Comment