Pages

Search Here

Windry Ramadhina: Laporan setengah hati acara diskusi lanang di tim yang brutal?

May 25, '08 4:11 AM

laporan setengah hati acara diskusi lanang di tim yang brutal

Dimulai oleh: Windry

http://missworm.multiply.com/journal/item/128/laporan_setengah_hati_acara_diskusi_lanang_di_tim_yang_brutal

buku: lanang
penulis: yonathan rahardjo
editor: a. fathoni
penerbit: alvabet

moderator: gratiagusti chananya rompas
pembicara 1: lisabona rahman
pembicara 2: yusi avianto pareanom

saya sudah tahu sebagian isi makalah yusi yang dijadikan pengantar diskusi ini. lha wong bukunya kami corat-coret bersama di mp books. (lanang dibaca secara bergilir, lalu masing-masing dari kami memeriksa buku itu seputar hal-hal teknis dasar -tata bahasa, diksi, typos, logika, angle dll- dan berdiskusi. memang -dengan berat hati saya katakan- di setiap halaman, terdapat berbagai macam kesalahan teknis dasar. tapi tentunya untuk menyadari ini, pembaca harus paham hal-hal tsb. jadi, saya berasumsi: mereka yang tidak menemukan hal ini, tidak tahu apa yang sesungguhnya bisa mereka temukan. maaf.)

nah, sebelum membahas isi esai kritik yusi, mari saya laporkan pendapat lisabona rahman. ia men-sharing-kan pengalamannya membaca novel tsb dengan dingin.

secara umum, lisa merasa 'tertipu' saat membaca novel lanang. latar belakang tokoh dan situasi yang diciptakan oleh penulis membuat lisa berharap mengikuti penyelidikan seperti detektif, tetapi perkembangan cerita dan detil-detil yang muncul kemudian mengecewakan lisa. banyak aksi dan detil tidak logis terdapat dalam cerita lanang. di tengah cerita, novel ini bahkan kehilangan ketegangannya saat si tokoh menjauh dari pusaran investigasi. penipuan lanang dirasa lisa tidak hanya dalam hal tersebut. lisa juga merasa tertipu seputar konflik batin para tokoh di dalam lanang.

lisa juga menyayangkan pengolahan tiga tokoh perempuan di dalam lanang yang begitu miskin. siapa pun tokoh itu, mereka adalah iblis-iblis cantik yang bertubuh molek dan menggairahkan. mereka diposisikan sama dan tidak mengalami perkembangan sepanjang cerita.

seperti yang saya sudah duga sebelumnya, yusi lebih membahas hal-hal teknis. ia menimbang karya ini berdasarkan unsur-unsur: tema, deskripsi, dialog, penokohan, plot, dan penggunaan bahasa. di awal, yusi memuji semangat dan ide penulis mengangkat tema kehidupan dokter hewan yang sesungguhnya memiliki potensi menjadi menarik, namun semua unsur yang ia sebutkan di atas muncul secara tidak meyakinkan di semua halaman novel lanang. bukan nyaris di semua halaman. benar-benar di semua halaman (ini sudah saya tes dengan cara pilih halaman secara acak).

yusi merasa paling terganggu dalam hal ketidaktelitian yang dilakukan penulis (dan editor) dan logika yang lemah. dalam makalahnya (yang kemudian dibahas bersama), ia mencantumkan sejumlah contoh yang, saya kira, tidak bisa dielakkan.

sejumlah audience kemudian memakai sesi tanya jawab untuk melontarkan 'pernyataan'. mereka mengritisi pembicara yang terlalu kritis pun mereka tidak berani juga menepis kritik-kritik lisa dan yusi. sesi itu kemudian diakhiri dengan 'deklamasi' penulis yang saya nilai kurang tepat.

alih-alih menerima kritik, penulis lebih suka membentengi diri dengan dua belas endorsment pada sampul bukunya (sementara kita tahu bahwa endorsment dibuat dengan tujuan promosi). dari pernyataan penulis sendiri juga, saya menjadi tahu bahwa novel ini memang terbit tanpa 'editing', suatu ke-'unik'-an dalam dunia kepenulisan. penulis merasa begitu yakin karyanya tidak dapat diedit menjadi lebih baik lagi. sikap yang berdampak besar, bukan hanya terhadap karya itu sendiri, tetapi juga terhadap perkembangan sang penulis.

tapi diskusi kemarin sangat fun bagi saya dan saya menyadari, kritik seputar teknis ternyata lebih menakutkan dibanding kritik seputar tema dan ide. kemarin lisa dan yusi (terutama yusi) seperti berkata, 'ide seperti apa pun, kalau penulis macam ini yang mengolah, tidak akan bagus.'

wew, brutal.

magnificaluna wrote on May 25
Waduh. Gw saat ini sedang menulis 7 (yup, u heard me, 7) novel ringan (klise, pasaran, picisan), dan dah hampir tiga tahun ga ada kemajuan. Tidak akan gw terbitkan, untuk konsumsi pribadi. N klo dah jadi, ga bakal gw kasih ke elo. Takuuuuuutttttt.... :p

missworm wrote on May 25
kalau sama temen aku ngga nyakar, Ning. sini kemarikan. sungguh deh *kedipkedip*

fortherose wrote on May 25
tidak komentar, ah, menikmati laporan setengah hati ini saja... sepertinya cukup brutal (lha, kok komen?) ekekeke :p

missworm wrote on May 25, edited on May 25
fortherose said
tidak komentar, ah, menikmati laporan setengah hati ini saja... sepertinya cukup brutal (lha, kok komen?) ekekeke :p
saya cuma laporan loooh. :D bintang utamanya teteup yusi dan lisa *wakakaka curang*

edophilia wrote on May 25
Kamu knp win?

missworm wrote on May 25
:D pms, Do ...
apa kabar?

pakcikahmad wrote on May 25
Kok tidak ada cerita yang menunjukkan acara itu brutal, Win ?

missworm wrote on May 25
pakcikahmad said
Kok tidak ada cerita yang menunjukkan acara itu brutal, Win ?
namanya juga setengah hati

pulangpergi wrote on May 26
ouww gitu tho..! yang brutal laporan ini atau acara kemaren sih win?? bingung. hehehehe...

missworm wrote on May 26, edited on May 26
judul di atas itu memang rancu. tapi karena diriku malas, ndak dibener-benerin

reksokata wrote on May 26
waduh... laporannya tidak jernih gini, ya... tapi, laporan seperti ini sepertinya khas orang yang lagi belajar menulis, dengan tanpa pengetahuan sedikit filsafat atau wacana cultural studies. hehehehe..

missworm wrote on May 26, edited on May 26
reksokata said
waduh... laporannya tidak jernih gini, ya... tapi, laporan seperti ini sepertinya khas orang yang lagi belajar menulis, dengan tanpa pengetahuan sedikit filsafat atau wacana cultural studies. hehehehe..
ada yang salah dengan orang yang baru belajar menulis?

reksokata wrote on May 26
Orang belajar tidk pernah salah... saya juga tidak menyalahkan, bukan?

reksokata wrote on May 26
Dalam kajian analisa wacana kritis, salah satu yang menjadi tinjauan adalah keberimbangan informasi. Seorang penulis bisa memilih hamparan fakta untuk dijadikan data. Proses pemilihan fakta untuk dijadikan data, seorang penulis dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya yang bernama Idol. Dampaknya, fakta bisa tidak dimasukkan atau dimasukkan sebagai data. Begitu juga pilihan kata. Seorang wartawan bisa memilih ungkapan, "Perampok itu tewas ditembak polisi", "Polisi menembak perampok itu", "Perampok itu didor polisi", "Akhirnya, perampok itu tewas", "Perampok itu tewas tertembak", dan masih bisa banyak lagi. Apa dampak dari semua ini? Imaji dan kesan yang akan ditafsirkan oleh pembaca atas teks itu.

missworm wrote on May 26
nah gitu dong, ngasih ilmu.

berdasarkan teori yang baru saja cak sampaikan, teks cak sebelumnya (teks yang mengandung kata 'waduh') memunculkan kesan negatif.

reksokata wrote on May 26
Memang sengaja memunculkan kesan negatif... kekekeke... dalam arti menyayangkan... bukan menyalahkan...tapi tidak rela... boleh, kan?

missworm wrote on May 26, edited on May 26
silakan saja. sudah kehilangan cara yang lebih cantik?

replypenabuluan wrote today at 10:32 PM
tapi Wind... sebaiknya menanggapi demikian gimana? toh udah cetak dan terbit
kalau pun dia mau melakukan editan ulang untuk cetak berikutnnya... MEMANGNYA BAKALAN SELAKU ITU SAMPE CETAK ULANG?
dan... betapa ga asiknya itu sampe harus edit banyak setelah cetak pertama... eek banget...
gimana ya... apa perlu diadakan semacam FGD sebelum cetak buku?
Gue rasa yang perlu dihajar itu editornya. apa kerjaan dia dong kalo karya butut bisa keluar?
*menghajar diri sendiri*

tonnif wrote today at 10:43 PM
Eh... Neng, ga ada karya macam apa pun yang lahir dari kedalaman hati dan jiwa manusia bernilai buruk, termasuk novel Lanang. Orang mesti berani membuka diri dengan segala kelemahan dan kelebihan sebuah karya.
Manusia adalah karya agung Yang Maha Pencipta. Seburuk apa pun sosoknya, dia pasti punya kelebihan. Dan orang lain tidak boleh sekadar melihat kelemahannya semata.
Lanang sudah lahir dalam bentuk karya. Sebagaimana manusia, ia punya sisi buruk dan baik. Dan dua-duanya mestinya ditampilkan secara menonjol.
Di diskusi kemarin, Kang Yusi hanya menyebut ini tema baru dan segar tanpa ada upaya mengeksplor sedemikian rupa dan memberi daya tekan, seolah-olah kebaikannya sama sekali tak ada di luar tema segar itu. Ini kan naif.
Cobalah kaji lebih dalam yang Kang Yusi sebut dalam contohnya sebagai "sains asal-asalan":
"Barangkali babi itu tersesat sampai pucuk gunung, sedangkan jalan untuk kembali ke daratan sangat sulit. Ia bergaul dengan burung-burung rajawali dan burung-burung penyendiri di puncak gunung. Bergaul dan melakukan adaptasi pola hidup. Tumbuh sayap pada tubuhnya."
Itu, menurutku, lontaran genuine dan brilian Om Yo terhadap munculnya para "intelektual tukang" era sekarang. Selebihnya, ...

tonnif wrote today at 10:52 PM
nanggepin laporan ngawur missworm ini kukutipkan pandangan orang lain dari goodreadsnya windry alias si missworm sendiri ya...

message 81: by Ermaprodita
hihihi...gw juga hadir pd peluncuran novel lanang itu., baru pertama kali gw ikuti acara peluncuran semua pembicaranya menyerang habis buku yg dibahas dan tidak ada pembicara yg membela, berpandangan positif.. ini peluncuran atau bantai buku?!, aneh sekali!!!.kekekeke..yg paling aneh itu dewan kesenian jakarta, pemenang lombanya sendiri tapi dibantai sendiri, tidak dicarikan pembicara yang bermutu!haha..maka gw lihat pengarangnya ogah nanggepin omongannya pembicara satu persatu.tapi dia milih deklamasi utk kritik pembicara dan dkj sekalian promosi buku sebgai wakil penerbit yg menyelenggarakan diskusi itu. honor utk pembicara itu dari mana sih?. paling ya dari penerbit itu, pembicara gak tau diri gitu kok dipilih. padahal diskusi novel pemenang dkj yg lain selalu ada juri yg mempertanggungjawabkan pilihannya.hahaha... blunder bagi dkj utk menunjukkan afiliasi politik sastranya sebetulnya ke arah mana.!kekekeke

missworm wrote today at 11:06 PM
masalah babi tersesat itu memang terinspirasi dari teori darwin. tinggal kita perhatikan lagi saja teori tersebut. evolusi yang dimaksud darwin kan tidak secepat itu prosesnya. jutaan tahun, bukan? dan bisa jadi saat diedit dengan menambahkan/ mengganti 'segerombolan babi'... lebih masuk di akal. 'bergaul' itu juga bisa dicari kata gantinya yang lebih menunjukkan keintiman, di mana memungkinkan terjadi transfer gen.

pembaca beragam. misal, ada orang yang haus logika membaca itu (ahli biologi misalnya, atau penganut darwin), tentu dia akan menggunakan pengetahuannya untuk memeriksa kemungkinan terjadinya hal tersebut. tidak perlu tepat. minimal meyakinkan. kita bisa berkata, 'oh ya, bisa jadi.' begitu, mas.

nah, itu salah satu peran editing. simple sih... editing memang selalu dianggap remeh. saya hanya saran saja. dipandang positif silakan, tidak juga ndak apa-apa. laporan ini mau dibilang ngawur juga silakan. saya ndak merasa rugi. kalau mau, kan si mas dan kawan kawan bisa membuat laporan sendiri. di blog sendiri juga. atau disebar di milis. agar mayoritas orang memiliki pendapat seragam.

replymissworm wrote today at 12:06 AM
masalah babi tersesat itu memang terinspirasi dari teori darwin. tinggal kita perhatikan lagi saja teori tersebut. evolusi yang dimaksud darwin kan tidak secepat itu prosesnya. jutaan tahun, bukan? dan bisa jadi saat diedit dengan menambahkan/ mengganti 'segerombolan babi'... lebih masuk di akal. 'bergaul' itu juga bisa dicari kata gantinya yang lebih menunjukkan keintiman, di mana memungkinkan terjadi transfer gen.

pembaca beragam. misal, ada orang yang haus logika membaca itu (ahli biologi misalnya, atau penganut darwin), tentu dia akan menggunakan pengetahuannya untuk memeriksa kemungkinan terjadinya hal tersebut. tidak perlu tepat. minimal meyakinkan. kita bisa berkata, 'oh ya, bisa jadi.' begitu, mas.

nah, itu salah satu peran editing. simple sih... editing memang selalu dianggap remeh. saya hanya saran saja. dipandang positif silakan, tidak juga ndak apa-apa. laporan ini mau dibilang ngawur juga silakan. saya ndak merasa rugi. kalau mau, kan si mas dan kawan kawan bisa membuat laporan sendiri. di blog sendiri juga. atau disebar di milis. agar mayoritas orang memiliki pendapat seragam.

ntonn wrote today at 1:30 AM
Neng Wind yang manis… Aku cuma ngajak kamu untuk banyak merenungkan hal-hal yang substansial, bukan literal. Evolusi ala Om Yo, menurutku, merupakan evolusi sebagai kritik terhadap lahirnya intelektual2 tukang yang instan, ga perlu kau patenkan harus mengikuti evolusi model Darwin. Darwin boleh bilang evolusi harus jutaan, bahkan miliaran tahun, tapi tidak bagi sastranya Om Yo. Kau masih mau bilang ga mungkin evolusi cuma sepuluh hari atau setahun. Siapa yang mengharuskan itu? Sastra juga bisa bilang hari ini aku bisa melihat langsung kondisi Amerika tanpa perlu ke sana, yang itu ga mungkin (ga logik katamu) jika kau ada di tahun 1293 saat Sanggramawijaya mendirikan Majapahit. Itulah sastra, Neng…
Darwin sendiri memunculkan Teori Evolusi hanya sebagai antitesa dari doktrin agama ihwal manusia pertama. Siapa yang bisa membuktikan fakta kebenaran teorinya Darwin? (bahkan Darwin sendiri tak bakal sanggup membuktikannya, selain sebagai sebuah teori. Sekarang kau bermain dengan logika itu, dan memutlakkan segalanya mesti seperti itu. Dan, parahnya, dengan bergaya jumawa kau mengusulkan mengganti “babi itu” dengan “segerombolan babi” biar bisa lebih masuk di akal (menurutmu). Atau “bergaul” diganti “transfer gen” supaya lebih menunjukkan keintiman katamu. Kayaknya untuk benar-benar bisa paham Novel Lanang, kau mesti membacanya hingga seratus kali…

missworm wrote today at 2:31 AM
wah maklum saja, mas. seperti yang si cak bilang, saya kan penulis yang baru belajar. ya seperti inilah pemikiran saya. mungkin si mas bisa diskusi dengan yang sama keahliannya. untuk sementara ini, selama saya belum bertambah pintar, mungkin saya bukan teman diskusi yang tepat.

saya simple aja kok. saya suka nonton film. kalau ada film romeo and juliet diremake dengan kesalahan2 manis seperti, mic-nya tertangkap kamera. atau si kameramen me-shoot karakter yang salah. atau tokoh-tokohnya salah ucap dialog tapi ngga ditake ulang dsb... saya cenderung agak lelet menikmatinya. dipaksakan juga sulit, mending nonton romeo and julietnya si leo.

atau begini deh, gemes ngga kalo lago baca buku tentang revolusi perancis, lalu di film itu bastille salah disebut menjadi alcatraz. atau baca novel cinta menye yang menuliskan deja vu jadi de javu. atau napas ditulis nafas.

its about itu aja sebenernya kok. saya emang gampang gemes aja dengan hal hal 'kecil'. namanya juga orang kecil. sebagai pemula, PR saya banyak, sehingga opsi membaca lanang 100 kali sementara ini akan menjadi prioritas kesekian.

dan lagi, saya ndak pernah melarang teman-teman lain yang ingin menikmati hal substansial seperti yang si mas katakan. silakan saja. itu namanya perbedaan ketertarikan. itu bagus gus gus.

end end deh end. saya mau makan niy. laper.

missworm wrote today at 2:35 AM
penabuluan said
tapi Wind... sebaiknya menanggapi demikian gimana? toh udah cetak dan terbit
kalau pun dia mau melakukan editan ulang untuk cetak berikutnnya... MEMANGNYA BAKALAN SELAKU ITU SAMPE CETAK ULANG?
dan... betapa ga asiknya itu sampe harus edit banyak setelah cetak pertama... eek banget...

gimana ya... apa perlu diadakan semacam FGD sebelum cetak buku?
Gue rasa yang perlu dihajar itu editornya. apa kerjaan dia dong kalo karya butut bisa keluar?
*menghajar diri sendiri*
ternyata ... peran editor itu penting (lu kerja dengan bener ngga? eh lu editor bukan sih? wakakaka). untuk menghindari nasib buruk ketemu editor duduls, mending dikau dan diriku belajar nulis yang bener, eM. *belajaaar belajaaar! wakakaka*

ntonn wrote today at 3:18 AM
Kok jadi underestimate gitu sih Neng Windry. Kamu sebenarnya punya potensi, tinggal bagaimana mengolah potensi itu menjadi lebih bagus, dipadu cara pandang yang bagus pula. Bukan berarti aku nglarang kamu baca novel-novel berat, dan beralih ke dongeng anak2, tapi belajar butuh kesabaran (seperti kita belajar ngaji dulu itu…). Kalau ga kuat baca 3 halaman ya 1 halaman dulu, dihayati maknanya dalam-dalam. Tidak kemudian mencak-mencak yang kita baca ga bener gara-gara kita belum paham. Itu mesti diubah, Neng Wind yang cantik…

Tapi kalau satu halaman pun masih susah paham, ya diturunkan levelnya. Sering maen ke TB Gramedia, di sana banyak buku dongeng bagus2, perihal Sangkuriang yang pengen mengawini ibu kandungnya, malin kundang, joko tarub, dsb. Ntar kau kasih tanggapan dari bacaan2mu itu. Aku bersedia kok jadi teman diskusi. Kalau benar2 sudah khatam, baru beralih ke sedikit yang lebih berat, sampai akhirnya kau baca lagi Novel Lanang-nya Om Yo. Itu kan menurutmu, membaca juga butuh evolusi: dari yang paling sederhana dst dst. Harus sabar! Jangan dipaksakan!

missworm wrote today at 4:11 AM
hehehe
anak manis sementara ini mau selesaiin alexie, hasek, dan steinbeck dulu. nanti kalau saya minat baca yang lebih berat, saya kasih tahu.

tha tha

nb: saya ngga underestimate diri sendiri (ini bukan yang dimaksud?). cuma alergi di-underestimate. juga kehilangan minat masuk dunia orang-orang pintar.

ntonn wrote today at 4:49 AM
Begitu adik kecilku yang manis,

Sastra membuat jiwa kita bertambah halus. Membaca banyak karya sastra jangan lantas menjadikan kita kian garang, suka marah2, tak bisa mengendalikan emosi, apalagi memposisikan diri menjadi tukang bantai bagi setiap orang yang berkarya, tanpa ilmu. Dalam dunia politik, kau akan dipangkas banyak orang. Bertapalah, menyendiri, kontemplasi, merenungkan banyak hal dalam hidup, banyak baca, rendah hati, memayu hayuning bawono, maka lahirlah pujangga-pujangga hebat macam Prabu Jayabaya yang memunculkan Kitab Jangka Jayabaya, yang nyaris sezaman dan tak kalah hebat dari Ihya’ Ulumuddin-nya Imam al-Ghazali. Dan, tentu, jauh melampaui masanya. Atau Raden Ngabehi Ronggowarsito yang belum tergantikan hingga kini: “Melik nggendhong lali. Sabegja-begja wong kang lali, isih begdja wong kang eling lan waspodo.” Itu nasihat beliau kepada kita, jangan sampai kita dihinggapi “lupa” hanya lantaran merasa punya sedikit ilmu. Dan menganggap diri sebagai “Dewa”.

Salam dariku, Sayang…

missworm wrote today at 5:18 AM, edited today at 5:37 AM
hayooo main congklak ajalah ... ato bekel
*sesi nge-junk dimulai. kuliah satu arah ngga pernah seru*

penabuluan wrote today at 6:05 AM, edited today at 6:13 AM
HAHAHAHAHA! Defensif ambyarrrrr

"Sastra membuat jiwa kita bertambah halus. Membaca banyak karya sastra jangan lantas menjadikan kita kian garang, suka marah2, tak bisa mengendalikan emosi, apalagi memposisikan diri menjadi tukang bantai bagi setiap orang yang berkarya, tanpa ilmu."

1. Apakah standar karya Sastra itu? Apa yang membuat sebuah tulisan masuk ke dalam kategori Sastra, dan apa yang membuat sebuah tulisan tidak masuk ke kategori Sastra?

"Dalam dunia politik, kau akan dipangkas banyak orang."

2. Apa definisi politik di sini? Buat saya Sastra adalah politis.

"Bertapalah, menyendiri, kontemplasi, merenungkan banyak hal dalam hidup, banyak baca, rendah hati, memayu hayuning bawono, maka lahirlah pujangga-pujangga hebat macam Prabu Jayabaya yang memunculkan Kitab Jangka Jayabaya, yang nyaris sezaman dan tak kalah hebat dari Ihya’ Ulumuddin-nya Imam al-Ghazali. Dan, tentu, jauh melampaui masanya. Atau Raden Ngabehi Ronggowarsito yang belum tergantikan hingga kini: “Melik nggendhong lali. Sabegja-begja wong kang lali, isih begdja wong kang eling lan waspodo.” Itu nasihat beliau kepada kita, jangan sampai kita dihinggapi “lupa” hanya lantaran merasa punya sedikit ilmu. Dan menganggap diri sebagai “Dewa”."

3. Kesimpulan saya, jikalau saya tak membaca tulisan karya semua nama yang disebutkan di atas, artinya adalah:
a. Selain buta Sejarah, saya kemungkinan besar buta Sastra
b. Saya kemungkinan besar juga buta Huruf (hihihi, dan juga logikanya tidak berjalan karena ngawur melakukan deduksi)
c. Kemungkinan saya tidak bisa bahasa Jawa.
d. Kemungkinan saya bukan orang Indonesia
e. Kemungkinan saya orang yang hedonis, ekstrovert (ah yang ini benar), dan tidak berpikir panjang.
f. Yang membawa pada kemungkinan bahwa saya tidak pernah berpikir sama sekali.

Sungguh sungguh sungguh
Naif sekali saya ini. Dan naif juga anda ini, mengeluarkan referensi yang tidak ada hubungannya untuk mendukung dan menjustifikasi argumen anda yang terasa defensif terhadap sebuah opini seorang missworm yang suka membaca ini.
Terasa, karena, kalau anda ini paham Sastra, dan daripadanya sering membaca tulisan yang halus, murni, luhur, dan berlimpah pengetahuan transendental, tentunya anda tahu "makna tersirat" dan "makna tersurat".

AH, biarlah saya ulang lagi yang anda tulis sendiri.

"“Melik nggendhong lali. Sabegja-begja wong kang lali, isih begdja wong kang eling lan waspodo.” Itu nasihat beliau kepada kita, jangan sampai kita dihinggapi “lupa” hanya lantaran merasa punya sedikit ilmu."

Walau naif, saya menyimpan sepotong cermin di kantong saya, yang sesekali waktu saya gunakan untuk berkaca. Anda tidak suka cermin ya?

penabuluan wrote today at 6:16 AM
Wind, gue rasa bisa jadi Lanang itu dimenangkan karena konten "Kekinian", pencatatan keadaan sosial, dan heheh.. "nilai-nilai budaya lokal" yang diberi bumbu pedas berupa "Muatan Seksual".

Mari kita menulis dengan sensuil. Semakin kontroversial semakin baik. Tapi mungkin nggak usah diberi bonus kondom seperti album dangdut jeng Jupe.

Permisi... saya mau ke Salon, manikur dan pasang hair extension warna blonde.
muwah!

missworm wrote today at 6:19 AM, edited today at 6:28 AM
sebenarnya, saat diskusi kemarin diriku mengharapkan para juri hadir. sebagai pembaca, diriku ingin mendengar laporan pertanggungjawaban mereka (dalam arti general loh yaw, tidak ada tendensi).

ntonn wrote today at 7:23 AM
Eh si eneng (penabulan)… Sory, tadi ada teman datang, agak lama ngobrolnya. Aku kira juga bincang-bincang kita hari ini sudah usai.

Hehehe… Ga perlu lah menyimpulkan diri sendiri senaif itu. Tadinya tulisanku yang terakhir hanya khusus salam perpisahan hari ini buat adik kecilku yang manis (Windry), tidak sebagai upaya menanggapi dirinya yang suka membaca, wong membaca itu sangat bagus. Apalagi, apa tadi … yang kau tulis: “mendukung dan menjustifikasi argumen Anda yang terasa defensif terhadap sebuah opini seorang missworm yang suka membaca ini.” Ah… ga sampe segitu. Boro2 ngomongin defensif atau ofensif.

Neng Windry kan mau baca Alexie, Hasek, dan Steinbeck yang dia sebutkan itu, aku mendukungnya kok. Cuma ada unsur-unsur lain selain membaca yang aku katakan supaya dia ingat, tidak lupa: bertapa, menyendiri, kontemplasi, merenungkan banyak hal dalam hidup, rendah hati, memayu hayuning bawono (ga pa2 kan sekadar mengingatkan, wa Tawashoubi al-Haqqi wa Tawashoubi al-Shabr). Syukur2 didengar, ga didengar juga ga pa2, wong namanya mengingatkan. Namanya juga cermin, dipake ga pa2, ga dipake juga ga pa2. Ditaruh di kamar mandi, monggo. Ditaruh di salon tempat si eneng manikur dan pasang hair extension warna blonde juga monggo.

Ga perlu juga kan aku sok keminter ngasih kuliah sastra. Membacalah… Baca banyak buku, apa pun, termasuk yang bisa kau anggap sebagai sastra! Membaca akan lebih baik ketimbang dikuliahi.

missworm wrote today at 10:22 PM
heuuu kok jadi kalian yang ribut? *garuk garuk kepala*
hayooo akur akur *asal bukan akoer*

ik cabs dulu. silakeun lanjut kalo emang perlu lanjut. si ya on de neks refiu

violet wrote today at 2:06 AM
tonnif said
baru pertama kali gw ikuti acara peluncuran semua pembicaranya menyerang habis buku yg dibahas dan tidak ada pembicara yg membela, berpandangan positif.. ini peluncuran atau bantai buku?!, aneh sekali!!!.kekekeke..

"nyampah" dikit ah:

apakah para pembicara sebaiknya hanya mengumbar kata-kata manis kalau memang buku yang dibahas itu lebih banyak kekurangannya? saya pikir segala kritik yang disampaikan pada waktu itu sangat membangun dan objektif. sayang sekali kalau dianggap pembantaian. dan kalau diskusi yang baik itu berarti diskusi yang hanya penuh pujian, sepertinya kok dangkal sekali. kritik yang positif kan bukan cuma terdiri dari puja dan puji. memangnya kalau tindakan menunjukkan kekurangan itu artinya selalu penyerangan ya?

di luar itu, menurut saya diskusi bukanlah materi acara yang tepat untuk sebuah peluncuran. memang seharusnya buku yang sedang diluncurkan itu lebih banyak dirayakan daripada dibedah. toh akan banyak hadirin yang belum membaca buku tersebut. akhirnya ya seperti kebanyakan diskusi yang saya hadiri beberapa waktu belakangan ini: ketika sesi q&a dibuka, banyak peserta yang mencoba mengkritisi karya atau bahkan para pembicara dengan menggunakan imajinasi mereka saja (kan belum baca bukunya juga). lalu keesokan harinya hadirin yang merasa tidak puas akan mengirimkan sejumlah statement ke sejumlah blog dan milis (nggak tahu apakah itu dikirimkan juga ke para pembicara diskusi). tetapi, setelah apa yang terjadi pada hari itu, saya salut terhadap pustaka alvabet. sepertinya mereka sangat cool dan itu saya lihat lagi di acara “pasar malam”, rabu yang lalu, ketika “lanang” didiskusikan lagi dan dari yang sempat saya dengar para pembicaranya juga melihat sejumlah kekurangan.

anyway, saya rasa para pembicara dalam diskusi “lanang” di tim sudah melakukan hal yang benar and they worth every penny. kalau mereka hanya mengulangi blurbs yang bertebaran di buku tersebut, mereka cuma akan memaklumi kerja keras yang sudah dilakukan penulis dan penerbit. (fyi, penggunaan kata ‘maklum’ beberapa kali muncul dalam novel “lanang” dan dikritisi oleh yusi dalam esainya. kayaknya ini jadi menambah bobot pada apa yang akan saya katakan berikut:) kalau kita menginginkan semua pembaca “lanang”, bahkan seluruh pembaca sastra di negeri ini, untuk lebih memfokuskan pembacaannya pada hal-hal “baik” dari sebuah karya walaupun hal-hal tersebut belum atau gagal sama sekali digarap dengan baik oleh penulisnya, saya khawatir hanya akan ada sastra maklum di indonesia. atau yang lebih parah lagi, akan muncul pemikiran: maklum (deh), sastra indonesia (sih).

jadi, kayaknya pe-er selanjutnya: bagaimana memberi dan menerima kritik dengan baik.

pabrikt wrote today at 11:11 PM
habis acara itu, aku kan ngobrol sama si pembicara dan as laksana. kucoba agar mereka tak berhenti pada inklusi/eksklusi, pada baik/buruk, pada sistem penilaian berbasis superstruktur (grammar, dsb). tapi, misalnya, mengapa Yonathan sering memakai kata "maklum". apa artinya babi hutan terbang dan kaitannya dengan seluruh kesadaran atau ketaksadaran dalam Lanang.dsb. ketika aku kritik Manusia Harimau Eka kan kukatakan bahwa tokoh2nya pipih. tidak hidup. tapi tak berhenti di sana. mengapa tokoh-tokoh itu tidak hidup?mengapa novel itu melantur? nah itu yang musti dibahas. tak berhenti pada penilaian ini novel buruk atau baik. tapi ketokane mereka nggak dong. =))

missworm wrote today at 12:14 AM
pabrikt said
habis acara itu, aku kan ngobrol sama si pembicara dan as laksana. kucoba agar mereka tak berhenti pada inklusi/eksklusi, pada baik/buruk, pada sistem penilaian berbasis superstruktur (grammar, dsb). tapi, misalnya, mengapa Yonathan sering memakai kata "maklum". apa artinya babi hutan terbang dan kaitannya dengan seluruh kesadaran atau ketaksadaran dalam Lanang.dsb. ketika aku kritik Manusia Harimau Eka kan kukatakan bahwa tokoh2nya pipih. tidak hidup. tapi tak berhenti di sana. mengapa tokoh-tokoh itu tidak hidup?mengapa novel itu melantur? nah itu yang musti dibahas. tak berhenti pada penilaian ini novel buruk atau baik. tapi ketokane mereka nggak dong. =))

aku menangkapnya begini mas... selama aku diskusi dengan mereka beberapa bulan ini... mereka sangat peduli pada hal-hal elementer. kesalahan-kesalahan teknis dinilai mengganggu proses presentasi karya itu sendiri. saya bukan ahli budaya literal, tetapi saya mempelajari budaya komunikasi lainnya. salah satunya adalah gambar. sama seperti sebuah gambar, tulisan berpresentasi sendiri. sang pencipta tidak bisa mendampinginya dan memberi penjelasan pada pembaca saat pembaca merasa bingung terhadap apa yang sedang disampaikan. maka, wajar kalau penulis dinilai harus mampu membuat tulisannya mandiri. mampu mempresentasikan karyanya tanpa embel-embel "kalau aku dengar dari penulisnya sih... maksudnya begini...."

masuk di akal, sebenarnya. saya sendiri kalau menemui buku yang editingnya kurang memadai, akan sibuk mencoratcoret dibanding membaca isinya. :)

violet wrote today at 1:55 AM
pabrikt said
habis acara itu, aku kan ngobrol sama si pembicara dan as laksana. kucoba agar mereka tak berhenti pada inklusi/eksklusi, pada baik/buruk, pada sistem penilaian berbasis superstruktur (grammar, dsb). tapi, misalnya, mengapa Yonathan sering memakai kata "maklum". apa artinya babi hutan terbang dan kaitannya dengan seluruh kesadaran atau ketaksadaran dalam Lanang.dsb. ketika aku kritik Manusia Harimau Eka kan kukatakan bahwa tokoh2nya pipih. tidak hidup. tapi tak berhenti di sana. mengapa tokoh-tokoh itu tidak hidup?mengapa novel itu melantur? nah itu yang musti dibahas. tak berhenti pada penilaian ini novel buruk atau baik. tapi ketokane mereka nggak dong. =))


ya, saya rasa apa yang dikatakan pabrikt ini sebaiknya direnungkan oleh mereka yang 'menyerang' orang-orang yang dianggap mengkritik "lanang" secara negatif sehingga malah lupa menawarkan 'pembelaan' yang lebih menarik terhadap karya itu sendiri.

kalau mau membahas, ya bahas aja. kalau ada pointnya bukan ga mungkin juga kalo yang tadinya nggak suka lanang malah jadi suka.


pabrikt wrote today at 4:54 AM
kutipan ini kuambil dari tong sampah:

....

Apakah dengan demikian tak ada lagi yang bisa dipertaruhkan? Ya, jika

pertaruhan di sana dimaknai secara leavisistik, pendefinisian dan

penangkaran keunggulan-keunggul an, keutamaan-keutamaan estetis, dalam

sebuah proyek kebudayaan dengan "K" kapital. Tidak, jika pertaruhan

tersebut adalah pencarian keunikan dan perbedaan operasi tekstual.

perbedaan-perbedaan yang melampaui oposisi baik/buruk, benar/salah,

alfa/omega.



Memandang tulisan sebagai permainan perbedaan dan penundaan

(differance) atau pencarian the absence dari ledakan teks. Itulah

satu-satunya peluang yang kita miliki di tengah keremangan

nekrokultura, ketika semua hal termasuk sastra, membiru di anjung

museum-museum, menguapkan hawa daba formalin.

....

mari kita bahas,

pertama, jika ada bagian2 apel yang busuk, kita akan membuang apel itu atau hanya bagian yang busuk? jika kita buang apel itu, kita akan kehilangan apel, jika hanya kita buang yang busuk, kita masih memiliki bagian yang baik dari apel tersebut.

kedua, berhenti pada eksklusi/inklusi atau judgement system tidak akan membuat kita menemukan apa-apa. Tetapi mari kita lihat, jika kesalahan tata bahasa, ketidaklogisan, dan segala kekurangan lain itu, kita pandang sebagai fenomena, sama seperti fenomena "warna hijau yang sangat" (yang mengacu pada superstruktur adalah ketakmampuan menggambarkan sesuatu), maka kita akan dapat menemukan berbagai kemungkinan, termasuk gejala cara-cara berpikir dan berbahasa yang sedang terjadi, baik khusus pada novel itu maupun penulis baru indonesia, atau lebih luas lagi seluruh masyrakat Indonesia.

ketiga, jika sebuah novel adalah sebuah totalitas, unity, maka melihatnya dari eksterioritas novel tersebut, termasuk mengacu pada grammar superstruktur (grammar bahasa Indonesia, logika, atau apapun) adalah sebuah categorial mistake, mengapa si pembicara itu tak fokus pada grammar atau logika lanang sendiri (substruktur), dan menjadikan superstruktur hanya sebagai pembanding atau titik pijak dalam membicara 'keanehan' (untuk lebih netral) grammar dan logika lanang.

INILAH ETIKA YANG HARUS DIKEMBANGKAN OLEH KRITIKUS. KETIKA IA MELIHAT TERATAI, IA TAK BOLEH TERGESA MENGHUBUNGKANNYA DENGAN SIDHARTA, SEBAB BUKAN TAK MUNGKIN ADA TERATAI LAIN, YAITU "LOTOPAGA", TERATAI-TERATAI KEALPAAN YANG DIHIDANGKAN SERENA PADA ODISEI.

pabrik_t

pabrikt wrote today at 5:08 AM
itu egologik, meminta sesuatu harus sesuai dengan apa yang kau inginkan. antara (the other) kau jadikan sebagai alter egomu. Jika tak sesuai maka ia menjadi musuh yang harus kau bunuh. Ini juga berlaku bagi siapa pembicara satunya, yang cewek. Dia tertipu oleh novel atau tertipu oleh harapannya sendiri? Jika tertipu oleh harapannya sendiri, mengapa menudingkan telunjuk pada sesuatu di luar dirinya. TELUNJUK MENUNJUK EMPAT JARI MENGARAH DIRI.

Satu-satunya yang bisa dipegang adalah novel itu, now and here, dan bukan sejarah (ketaktelitian atau bahkan kebodohan penulis atau editor) atau masa depannya (hal yang seharusnya pada novel itu, yang sesungguhnya tak lebih dari tuntutan-tuntutan kita sendiri).

MARI KITA KEMBANGKAN SEBUAH "SIRKUS SENYUM"!

thetruthaboutjakarta wrote today at 5:26 AM
pabrikt said
pertama, jika ada bagian2 apel yang busuk, kita akan membuang apel itu atau hanya bagian yang busuk? jika kita buang apel itu, kita akan kehilangan apel, jika hanya kita buang yang busuk, kita masih memiliki bagian yang baik dari apel tersebut.
why dont u just get a sawo instead ? i know i would.

violet wrote today at 5:36 AM
pabrikt said
itu egologik, meminta sesuatu harus sesuai dengan apa yang kau inginkan. antara (the other) kau jadikan sebagai alter egomu. Jika tak sesuai maka ia menjadi musuh yang harus kau bunuh. Ini juga berlaku bagi siapa pembicara satunya, yang cewek. Dia tertipu oleh novel atau tertipu oleh harapannya sendiri? Jika tertipu oleh harapannya sendiri, mengapa menudingkan telunjuk pada sesuatu di luar dirinya. TELUNJUK MENUNJUK EMPAT JARI MENGARAH DIRI.

Satu-satunya yang bisa dipegang adalah novel itu, now and here, dan bukan sejarah (ketaktelitian atau bahkan kebodohan penulis atau editor) atau masa depannya (hal yang seharusnya pada novel itu, yang sesungguhnya tak lebih dari tuntutan-tuntutan kita sendiri).

MARI KITA KEMBANGKAN SEBUAH "SIRKUS SENYUM"!

saya kok kayaknya tetap cuma membaca himbauan after himbauan saja. kenapa nggak ngomong soal "lanang"-nya aja? apalagi kamu bilang "satu-satunya yang bisa dipegang adalah novel itu".

kalau saya, seperti yang saya katakan hari itu (colongan dikit. hihi..), memang tidak bisa memercayai siapa-siapa atau apa-apa di dalam novel tsb.

as for the apple question, i'd get myself another apple. atau ya seperti komen di atas, why not a different fruit altogether?

thetruthaboutjakarta wrote today at 6:13 AM
pabrikt said
TELUNJUK MENUNJUK EMPAT JARI MENGARAH DIRI.

seperti kepala babi yg menjilat pantatnya sendiri di lanang itu ini juga anatomically impossible. cuma tiga lagiiii. tanya dewi persik. ibu jari sih mengarah ke atas. atau diarah2in kali bisa juga, ke pengarangnya aja, kan duduk depan tuh orangnya.

pabrikt wrote today at 6:36 AM
mj, ibu jari mengarah ke atas itu kalau menembak, coba kau menunjuk, maka keempat jari itu akan mengarah diri, jempol juga mengarah ke diri sendiri (bedakan dengan menunjuk diri sendiri--jika itu yang kau maksud maka ia kan menunjuk ke kanan kalau kau menunjuk pakai tangan kanan, ke kiri jika kau menunjuk pakai tangan kiri, mengarah bisa berarti menghadap).
pabrikt wrote today at 6:41 AM
insyaallah violet, insyaallah.
ntonn wrote today at 8:29 AM
Kalau begitu, mari kita bahas Lanang, Diajeng Chananya…

Kau pengen kita mulai dari mana, yang itu menjadi kelemahan Lanang? Tapi jangan seperti training jurnalistik tingkat dasar-nya Yusi. Kita benar-benar melakukan diskusi “sastra”, benar-benar masuk ke dalam ruang sastra (waduh, salah aku, menggunakan kata “benar-benar” dua kali kok dalam satu paragraf).

Aku kemarin bilang, Yonathan mirip R. Samin Surosentiko, bapak moyangnya Saminisme. Gayanya nyleneh, ndeso, bohemian, mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Yonathan dan Kyai Samin sami-sami amin.

Kalau Kyai Samin punya Serat Jamus Kalimasada yang dijadikan pedoman bagi para pengikutnya untuk membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, dan mewujudkan perintah “Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni,” Yonathan punya Lanang: “Biji kasih. Biji sukacita. Biji damai sejahtera. Biji kesabaran. Biji kemurahan. Biji kebaikan. Biji kesetiaan. Biji kelemahlembutan. Biji penguasaan diri. Menyatulah dalam diri kami! Selamanya... selama-lamanya!!!”

Renungkan itu!

Oh ya, satu lagi, sebelum kita diskusi kau perlu merenungkan (ah ngulang kata “renung” lagi) puisi penyair Indra Tjahyadi yang menurutku luar biasa ini: Ziarah atas burung-burung, cahaya dari rasa sakit yang bertumpuk, yang baru digali dari setiap kubur, seperti ikalan-ikalan topan, atau impian seribu gadis, dan pelacur. Puisi fantasi. Yang dibangun tanpa acuan realitas, atau "puisi membentuk realitas" tersendiri. Realitas puisi yang tidak perlu berurusan dengan realitas empirik.

Dan yang perlu diingat, menurut pola training jurnalistik tingkat dasar-nya Yusi yang kerap kalian jadikan referensi, susunan kata dalam puisi Indra Tjahyadi itu tidak memenuhi persyaratan minimal sebuah kalimat, larik-lariknya hanya berposisi sebagai subyek, tak ada predikat. Tapi dahsyat!

Ah, aku kok jadi lupa, kukatakan kepadamu, dengan sebenar-benarnya, aku termasuk pengagum dirimu. Muda, cantik, dan pendobrak tata cara “moderator” yang selama ini konvensional; yang sekadar me-manage jalannya diskusi. Kau begitu anggun kala itu, saat turut mengomentari Novel Lanang!

Eh sory, aku balik dulu. Besok kita lanjut diskusi.

thetruthaboutjakarta wrote today at 10:38 AM
ntonn said
Renungkan itu!


Oh ya, satu lagi, sebelum kita diskusi kau perlu merenungkan
ini mana bahasan lanang-nya ? yg ada sekali lagi cuma himbauan, hah terlalu baik gue bilang himbauan, hardikan moralis gak ada gunanya ! renungin aja biji lo sendiri ! nah itu baru hardikan ! wait, obviously thats what youve been doing all this time ! sehingga kau gak bisa melihat betapa penuh omong kosongnya reply-mu ini !
violet wrote today at 1:19 PM
pabrikt said
mj, ibu jari mengarah ke atas itu kalau menembak, coba kau menunjuk, maka keempat jari itu akan mengarah diri, jempol juga mengarah ke diri sendiri (bedakan dengan menunjuk diri sendiri--jika itu yang kau maksud maka ia kan menunjuk ke kanan kalau kau menunjuk pakai tangan kanan, ke kiri jika kau menunjuk pakai tangan kiri, mengarah bisa berarti menghadap).
(berarti diriku bisa ada di kanan atau kiri sehingga bisa ditunjuk oleh keempat jariku sekaligus. hihihi sorry i cant help it. memang seru ngebahas jempol. which reminds me, aku belum manikur.)

violet wrote today at 2:32 PM
ntonn said
Kalau begitu, mari kita bahas Lanang, Diajeng Chananya…

Kau pengen kita mulai dari mana, yang itu menjadi kelemahan Lanang? Tapi jangan seperti training jurnalistik tingkat dasar-nya Yusi. Kita benar-benar melakukan diskusi “sastra”, benar-benar masuk ke dalam ruang sastra (waduh, salah aku, menggunakan kata “benar-benar” dua kali kok dalam satu paragraf).

Aku kemarin bilang, Yonathan mirip R. Samin Surosentiko, bapak moyangnya Saminisme. Gayanya nyleneh, ndeso, bohemian, mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Yonathan dan Kyai Samin sami-sami amin.

Kalau Kyai Samin punya Serat Jamus Kalimasada yang dijadikan pedoman bagi para pengikutnya untuk membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, dan mewujudkan perintah “Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni,” Yonathan punya Lanang: “Biji kasih. Biji sukacita. Biji damai sejahtera. Biji kesabaran. Biji kemurahan. Biji kebaikan. Biji kesetiaan. Biji kelemahlembutan. Biji penguasaan diri. Menyatulah dalam diri kami! Selamanya... selama-lamanya!!!”

Renungkan itu!

Oh ya, satu lagi, sebelum kita diskusi kau perlu merenungkan (ah ngulang kata “renung” lagi) puisi penyair Indra Tjahyadi yang menurutku luar biasa ini: Ziarah atas burung-burung, cahaya dari rasa sakit yang bertumpuk, yang baru digali dari setiap kubur, seperti ikalan-ikalan topan, atau impian seribu gadis, dan pelacur. Puisi fantasi. Yang dibangun tanpa acuan realitas, atau "puisi membentuk realitas" tersendiri. Realitas puisi yang tidak perlu berurusan dengan realitas empirik.

Dan yang perlu diingat, menurut pola training jurnalistik tingkat dasar-nya Yusi yang kerap kalian jadikan referensi, susunan kata dalam puisi Indra Tjahyadi itu tidak memenuhi persyaratan minimal sebuah kalimat, larik-lariknya hanya berposisi sebagai subyek, tak ada predikat. Tapi dahsyat!

Ah, aku kok jadi lupa, kukatakan kepadamu, dengan sebenar-benarnya, aku termasuk pengagum dirimu. Muda, cantik, dan pendobrak tata cara “moderator” yang selama ini konvensional; yang sekadar me-manage jalannya diskusi. Kau begitu anggun kala itu, saat turut mengomentari Novel Lanang!

Eh sory, aku balik dulu. Besok kita lanjut diskusi.

saya pikir kamu akan lebih membahas keunggulan "lanang" dibandingkan apa-apa yang sudah kautulis itu. apalagi kalau menurutmu "lanang" seluarbiasa puisi indra tjahyadi. siapa tahu penjelasanmu bisa membuat saya yang masih tak percaya ini bisa jadi percaya pada realitas (yang direkayasa di dalam) "lanang".

saya sebenarnya sempat berharap (eh ga boleh berharap ya supaya ga tertipu?) kalau ada semacam kesengajaan penulisnya untuk membuat pembaca tak percaya pada karakter maupun peristiwa yang ia tulis. mungkin semua itu memang hanya ada di kepala lanang karena lanang sesungguhnya adalah makhluk transgenik yang penuh akal bulus dan bisa berubah-ubah bahkan membelah diri menjadi laki-laki atau perempuan semaunya sehingga akhirnya ia jatuh cinta dan berhubungan intim dengan dirinya sendiri lalu menjadi gila karena tak bisa lagi membedakan mana dirinya mana kekasihnya mana anak-anaknya la la la. tapi, kenyataannya di novel tersebut, kejadian pencangkokan gen asing pada lanang adalah resolusi, bukannya penyebab, dari kejadian-kejadian sebelumnya. jadi, buat apa segala kerancuan (seperti saya bilang pada waktu itu, saya tak bisa membedakan suara narator dengan suara lanang dan karakter-karakter yang lain – dan kalau kamu nggak bisa maklum teknik ini mengganggu saya, ya udah gpp juga) yang dibangun sejak awal? apa kerancuan itu merupakan akibat lemahnya editing atau tak tergarapnya sejumlah hal teknis lain? suka nggak suka, saya jadi lebih suka menganggapnya demikian.

kalau memang kalian front pembela “lanang” ingin sungguh-sungguh membela novel tersebut, paling tidak di depan saya dan semua yang membaca dan menanggapi blog post ini, tulis sesuatu yang lebih to the point aja gimana? kalau begini terus, bisa-bisa saya jadi makin nggak ngerti yang lagi kita bahas di sini novelnya atau orang-orang yang membahas novelnya? atau mungkin ini semua cuma bagian dari realitas yang tak akan pernah saya mengerti karena berbicara dengan kalian di sini saya jadi merasa seperti apa yang saya harapkan terjadi pada lanang? (now that’s creepy!) kecuali kalian bisa menerima dan membiarkan saya dengan pandangan saya terhadap “lanang” sejauh ini.
violet

violet wrote today at 2:41 PM
ntonn said
pendobrak tata cara “moderator” yang selama ini konvensional; yang sekadar me-manage jalannya diskusi. Kau begitu anggun kala itu, saat turut mengomentari Novel Lanang!
thanks! sebenarnya saya belajar dari banyak moderator untuk banyak diskusi yang pernah saya datangi. hihi.

ntonn wrote today at 1:27 AM
Ah, kau ini ada-ada saja, Diajeng… Masak kita disebut FPI, eh apa katamu tadi … Front Pembela Lanang. Ga berlebihan seperti itu lah.

Ok, kita mulai diskusi.

Pertama, Lanang adalah pendobrakan Om Yo pada mindset selama ini, bahwa laki-laki itu superior, pemenang, berkuasa, dan kuat. Lanang di sini jauh dari itu, ia hanya pecundang yang dipecundangi. Meski judul besarnya “Lanang”, novel ini tidak begitu fanatik menghadirkan sosok hebat itu. Ini mestinya oleh Lisa dieksplor dari sudut analisis gender secara mendalam. Tidak sekadar memunculkan tiga iblis cantik. Kau pun sebagai moderator yang mendobrak normativitas, bisa juga turut mengurai itu secara meyakinkan. Tapi kalian tidak berani melakukan itu.

Kedua, seperti kemarin kubilang, kritik Yusi yang menyebutkan contoh ini sebagai "sains asal-asalan":
"Barangkali babi itu tersesat sampai pucuk gunung, sedangkan jalan untuk kembali ke daratan sangat sulit. Ia bergaul dengan burung-burung rajawali dan burung-burung penyendiri di puncak gunung. Bergaul dan melakukan adaptasi pola hidup. Tumbuh sayap pada tubuhnya."
Justru itu merupakan cara tersendiri Om Yo melontarkan kritik terhadap munculnya para "intelektual tukang" era sekarang yang instan. Rajawali dan burung-burung penyendiri adalah simbol korporasi sejagat: MNC/TNC, beserta agen-agen kapitalisme global. Terimpit oleh mereka, orang-orang menjadi pasrah dan putus asa. Memaksakan diri untuk menjelma seperti mereka, tapi tak bisa sepenuhnya; setengah-setengah. Akhirnya, menjadi dalam istilah Om Yo “Burung Babi Hutan”. Transgenik. Betul-betul babi, tidak. Dibilang burung juga tidak.

Ketiga, aku juga sudah sebut kemarin, “Biji kasih. Biji sukacita. Biji damai sejahtera. Biji kesabaran. Biji kemurahan. Biji kebaikan. Biji kesetiaan. Biji kelemahlembutan. Biji penguasaan diri. Menyatulah dalam diri kami! Selamanya... selama-lamanya!!!” Aku minta kau merenungkannya Diajeng, supaya membuka hatimu untuk bisa menerima kebenaran (wualah, lagi-lagi himbauan omong kosong dariku). Dan seandainya di dalam Lanang tetap ada kelemahan, ya justru sebagai sebuah karya dia harus ada kelemahan Dulu aku menggambarkannya mirip manusia, Karya Agung Tuhan Yang Maha Pencipta. Manusia adalah makhluk paling sempurna di antara makhluk lainnya di jagat raya ini. Dia sempurna justru lantaran punya kelebihan dan kekurangan. Tak perlu manusia menjadi malaikat yang begitu anggun tanpa pernah melakukan dosa, tak pernah manikur di salon, dan tak perlu kuliah ke luar negeri. Alangkah tidak menarik hidup seperti itu; hidup malaikat, tak ada tantangan.
Itulah Lanang, Diajeng. Penuh kerumitan, penuh labirin, penuh kerancuan, kelemahan dan kelebihan, semuanya utuh menjadi satu karya: “Lanang”. Lanang punya cara tersendiri menyampaikan dirinya. Dan sebagai pembaca, sebagaimana editor, tak perlu kita menghancurkan karakter penulisan Lanang dengan mendikte dan membebani keharusan-keharusan seperti harapan-harapanmu itu. Sehingga kau pun tertipu.
Dari Lanang kau bisa banyak belajar bagaimana memandang dan menilai si Buta. Karena si Buta tidak selalu buta.

Keempat, karena kita bukan dokter hewan, kita tidak begitu paham kelebihan dari sudut kedokteran hewan sebagaimana yang sejatinya dipahami kalangan kedokteran hewan. Cobalah kau gali itu, Lanang juga banyak dibahas mereka. Kau akan tergugah betapa Lanang menjadi sesuatu berharga.

Kelima, di ranah sastra, Lanang menghadirkan universalisme dalam sastra. Ia bagai samudra, begitu luas dan dalam. Siapa pun yang tak punya kesanggupan sekaligus keberanian mengarunginya, ia hanya menjadi seperti anak kecil yang baru belajar berenang, kecipak-kecipuk di pinggir pantai.
Lanang melampaui perdebatan panjang antara sastra kontekstual yang dimunculkan kalangan strukturalis dan sastra universal. Keduanya ia terima dan ia padu. Begitu pun sastra imajinasi “mengimajinasikan realitas” dan sastra fantasi, ia perlakukan sama.

Keenam, karena sesuatu yang baru, ia banyak diserang oleh “orang-orang pinter” yang patuh pada pakem. Mereka ramai-ramai ngrubuti Lanang. Menyerang dari 16 penjuru mata angin: “Bukan satu kekuatan yang kukubur. Bukan dua kuasa yang kuhunjam. Belatiku terlalu tumpul untuk memotong serangan maut ini. Apalagi mencacah sabetan-sabetan delapan bahkan enam belas penjuru arah.” Tapi kata Mbak Medy, “Tanpa melawan, Lanang tetap muncul.”

Ketujuh, terlalu berlimpah kalau aku tuliskan semua. Kapan-kapan saja kita bareng bikin buku tafsir atas Novel Lanang, tentu banyak alat bantu yang mesti kita punya: hermeneutik, filsafat, ilmu kedokteran hewan, balaghoh, dan masih banyak lainnya. Oh ya, jangan lupa, ilmu tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.

violet wrote on Jun 3
hm ya sebenarnya bukannya saya tidak bisa mendeteksi ada sejumlah isu yang ingin ditawarkan yonathan. masalahnya sederhana aja, buat saya isu-isu tersebut tak berhasil ditampilkan dan digarap dengan baik karena ada banyak kelemahan, terutama dari segi penulisan maupun editing. coba kalau penulis maupun editornya mau lebih teliti dan telaten, kayaknya bisa lebih baik. gagasan hebat atau niat baik bisa berantakan juga kalau eksekusinya kedodoran, bukan? ya kalau ada yang nggak sependapat dengan saya dan menganggap "lanang" itu tetap luar biasa ya gpp juga. makanya saya tadinya lumayan tertarik mendengar atau membaca alasan kenapa kalian begitu menyukainya.

tapi jujur aja semakin lama saya malah jadi makin ilfil – apalagi penjelasan panjang lebar ntonn kok angkuh banget ya, terutama pada bagian ini: ‘lanang menghadirkan universalisme dalam sastra. ia bagai samudra, begitu luas dan dalam. siapa pun yang tak punya kesanggupan sekaligus keberanian mengarunginya, ia hanya menjadi seperti anak kecil yang baru belajar berenang, kecipak-kecipuk di pinggir pantai.’ bo, saya udah diving di dalam samudra “lanang”, tapi ya gimana dong kalau saya nggak suka terumbu-terumbu karangnya. lagipula lebih seru jadi anak kecil yang masih kepingin tahu banyak hal dibandingkan orang dewasa yang merasa sudah banyak tahu. nah, nah.. orang dewasa yang seperti itu bukannya para “intelektual tukang” yang menurutmu dikritik yonathan?

terus, bagian ini: ‘lanang melampaui perdebatan panjang antara sastra kontekstual yang dimunculkan kalangan strukturalis dan sastra universal. keduanya ia terima dan ia padu. begitu pun sastra imajinasi “mengimajinasikan realitas” dan sastra fantasi, ia perlakukan sama.’ maksudnya lanang the book atau the character? kapan ini terjadi? hei, ntonn, kamu kok sekarang terdengar seperti lanang yang tak saya percayai itu. oh my god, jangan-jangan you are lanang!

dan tulisanmu yang ini:

‘tak perlu manusia menjadi malaikat yang begitu anggun tanpa pernah melakukan dosa, tak pernah manikur di salon, dan tak perlu kuliah ke luar negeri. alangkah tidak menarik hidup seperti itu; hidup malaikat, tak ada tantangan.
itulah lanang, diajeng. penuh kerumitan, penuh labirin, penuh kerancuan, kelemahan dan kelebihan, semuanya utuh menjadi satu karya: “lanang”. lanang punya cara tersendiri menyampaikan dirinya. dan sebagai pembaca, sebagaimana editor, tak perlu kita menghancurkan karakter penulisan lanang dengan mendikte dan membebani keharusan-keharusan seperti harapan-harapanmu itu. sehingga kau pun tertipu.
dari lanang kau bisa banyak belajar bagaimana memandang dan menilai si buta. karena si buta tidak selalu buta.’

ck..ck.. ck.., kamu sebenernya kepingin jadi malaikat tapi nggak bisa lantas sirik dan jadi bitter atau gimana, sih? kalau nggak, trus relevansinya apa? trus, bagaimana pendapatmu tentang “lanang” yang di-endorse begitu banyak ‘jawara’ (mengutip perkataan lisabona) dan yonathan yang mengatakan pada hari itu bahwa pasti ada yang baik di dalam bukunya salah satunya karena apa-apa yang sudah dikatakan para ‘jawara’ bertitel itu? hm, kayaknya sebaiknya kamu mendukung manusia jadi malaikat. kalau menurut saya sih justru perkataan seseorang itu seharusnya didengar karena apa yang dikatakannya dan bukan titel atau atributnya yang lain. eh, bisa balik lagi ke masalah ‘intelektual tukang’, nih. ah, nggak deh, pikir sendiri aja. hihi.

trus, kamu juga cuma mengulangi pendapat/pertanyaan saya soal kerancuan “lanang” daripada menjelaskan bagaimana dan mengapa kamu melihat kerancuan itu membuat “lanang” menjadi karya yang utuh. dan kamu lucu, menyarankan supaya saya atau pembaca lain tidak ‘mendikte dan membebani’ buku tersebut dengan ‘keharusan-keharusan’ dan ‘harapan-harapan’. kamu sendiri sudah mendikte kami bagaimana harus membaca “lanang”.

ah ya udah deh – saya orangnya nggak ribet kok. bagi saya, kalau sebuah karya itu memang menggugah dan berharga, saya akan dapat merasakannya sendiri. dan sayangnya, bahkan setelah sekian panjang diskusi tentang “lanang”, saya masih berpendapat sama tentang novel tersebut. maaf sekali ya, ntonn, kayaknya memang saya nggak bisa digugah “lanang” atau pembacaanmu terhadap “lanang”, nggak akan bisa mengerti alasan kalian begitu membela “lanang” selain karena kalian memang mempunyai cara berpikir dan bertutur yang sama dengan buku tersebut (dan ini makin menegaskan mengapa saya tak akan mengerti kalian juga) atau memang senang memaklumi kelemahan dan sibuk memberhalakan pandangan selalu ada kebaikan dalam setiap hal (hati-hati, bisa-bisa kamu menjadi lanang the character atau apa yang kamu pikir sedang dikritik “lanang” justru ketika kamu sedang memujinya. lagipula, kalau kamu bilang manusia “sempurna justru lantaran punya kelebihan dan kekurangan”, ya lebih baik akui aja kelemahan-kelemahan itu. denial is not a river in nile...), dan kalau kamu menganggap saya nggak bisa berenang saya sama sekali nggak keberatan. let’s get on with our sorry lives, masih banyak hal lain yang perlu dibela (atau justru nggak)!

btw, saya tak tertipu. saya memang tak percaya sejak awal. dan masih begitu juga sekarang.

ntonn wrote today at 2:56 AM
Hehehe... Susah kalau sudah bicara soal suka atau tidak suka, pisau analisisnya "selera". Nisbi. Sama susahnya meyakinkan dirimu bahwa aku orang baik, Diajeng...

Ya, sudahlah...

Tapi karena Lanang universal, ia tidak menendang. Ia menampung, apa pun itu, yang benci ataupun yang suka. Dan tidak pernah memaksa untuk wajib menyukainya. Monggo kerso. Silakan!

Diajeng Ananya...

Aku tidak sedih kau tuduh sebagai gambaran dari Lanang; cara berpikir dan bertutur. Yang aku sedih, kenapa kau memilih jadi "malaikat pencabut nyawa". Padahal, aku lebih senang jika kau jadi bidadari: ayu memesona.

Terima kasih atas diskusi mengesankan yang kau suguhkan padaku. Dua minggu ini, ada hal penting-mendesak yang harus kuselesaikan. Aku mohon maaf jika ada kesalahan. Silakan lanjut diskusi.


Salam dariku,

A. Fathoni
Editor Novel Lanang


inezdikara wrote today at 6:17 AM
baik itu, diri kita atau orang lain yang menilai?


replyviolet wrote on Jun 7
ntonn said
Hehehe... Susah kalau sudah bicara soal suka atau tidak suka, pisau analisisnya "selera". Nisbi. Sama susahnya meyakinkan dirimu bahwa aku orang baik, Diajeng...

Ya, sudahlah...

Tapi karena Lanang universal, ia tidak menendang. Ia menampung, apa pun itu, yang benci ataupun yang suka. Dan tidak pernah memaksa untuk wajib menyukainya. Monggo kerso. Silakan!

Diajeng Ananya...

Aku tidak sedih kau tuduh sebagai gambaran dari Lanang; cara berpikir dan bertutur. Yang aku sedih, kenapa kau memilih jadi "malaikat pencabut nyawa". Padahal, aku lebih senang jika kau jadi bidadari: ayu memesona.

Terima kasih atas diskusi mengesankan yang kau suguhkan padaku. Dua minggu ini, ada hal penting-mendesak yang harus kuselesaikan. Aku mohon maaf jika ada kesalahan. Silakan lanjut diskusi.


Salam dariku,

A. Fathoni
Editor Novel Lanang

saya makin bingung. ngapain kamu harus meyakinkan saya kalau kamu orang baik? kenapa juga kamu menganggap saya memilih jadi "malaikat pencabut nyawa"? beneran deh, jawaban terakhirmu ini membuat saya menyesal pernah berdiskusi denganmu. ternyata editor "lanang" sekalipun tak bisa menawarkan pembacaan yang menarik terhadap novel tersebut.


http://www.goodreads.com/review/show/22733759

Pembaca's review

Novel Lanang adalah Novel bergizi dan mudah dicerna. Mengenyangkan dengan pengetahuan akan sainfuturistik, simbol-simbol filsafat.
Tapi, sebagai perempuan saya sedih dan pedih karena perempuan patah hati/kecewa bagaikan hewan transgenik (otak kancil+monyet yang dicangkok ke kepala singa betina dengan tubuh angsa).
Saya sendiri sangat senang membaca buku dengan beragam tema, fiksi ataupun non-fiksi. membaca Lanang saya merasa ada di antara keduanya. Apakah ada sebagian cerita tersebut merupakan fakta si pengarang dan lingkungan sekitarnya? Pastilah?! Karena Yonathan kan dokter hewan yang nJawani, jago filsafat dan seni dan juga fakta sains tentang hewani (makanya ngerti banget tentang hewan) sains tentang hewan dan manusia (mamalia dan primata). Kebetulan novelnya menyinggung hal-hal yang mengglobal, isu lingkungan dan sebagainya.
Terus terang, saya malas membaca buku dengan bahasa yang berat (apalagi Lanang banyak unsur filsafatnya!). Tapi Novel Lanang beda, bagaikan buku dengan be...more Novel Lanang adalah Novel bergizi dan mudah dicerna. Mengenyangkan dengan pengetahuan akan sainfuturistik, simbol-simbol filsafat.
Tapi, sebagai perempuan saya sedih dan pedih karena perempuan patah hati/kecewa bagaikan hewan transgenik (otak kancil+monyet yang dicangkok ke kepala singa betina dengan tubuh angsa).
Saya sendiri sangat senang membaca buku dengan beragam tema, fiksi ataupun non-fiksi. membaca Lanang saya merasa ada di antara keduanya. Apakah ada sebagian cerita tersebut merupakan fakta si pengarang dan lingkungan sekitarnya? Pastilah?! Karena Yonathan kan dokter hewan yang nJawani, jago filsafat dan seni dan juga fakta sains tentang hewani (makanya ngerti banget tentang hewan) sains tentang hewan dan manusia (mamalia dan primata). Kebetulan novelnya menyinggung hal-hal yang mengglobal, isu lingkungan dan sebagainya.
Terus terang, saya malas membaca buku dengan bahasa yang berat (apalagi Lanang banyak unsur filsafatnya!). Tapi Novel Lanang beda, bagaikan buku dengan berbagai informasi berat dengan bahasa ringan dan mengalir sehingga saya membaca tanpa putus dengan rasa penasaran dan tak terasa telah tuntas.
...less

message 1: by Caklul (last edited 05/22/2008 10:17PM)
05/22/2008 10:11PM

Setuju...

setidaknya, membaca novel Lanang ini memunculkan beberapa aspek yang perlu mendapat sorotan. pertama, aspek bahasa. Penggunaan bahasa yang dituturkan dalam novel ini jauh berbeda dengan novel-novel zaman sekarang, "yang apa adanya" dalam tradisi bahasa Indonesia sehari-hari. Pakcik bilang, "Novel Puisi".

Kedua, aspek tema. Seperti yang anda ungkapkan, novel Lanang ini mengandung beragam tema yang berpadu satu dalam kompleksitas kehidupan. Setidaknya, tema-tema yang mengemuka dalam novel ini antara lain: dunia perhewanan, dunia kesehatan, dunia seks, dunia politik kebijakan, dunia politik konspirasi, dunia intrik politik, dunia mistik, dunia agama dan moral, dunia tradisi, dunia lingkungan, dunia ilmiah, khususnya dunia kedokteran hewan. Dari aspek tema inilah, yang menurut saya, orang awam dengan sedikit pemahaman tentang dunia-dunia yang tak tampak di permukaan, akan kerepotan membacanya. Sebaliknya, cerita ini akan sangat menarik bagi peminat atau pengamat sosial politik serta peminat sastra berat. Untuk itu, segmen pembaca novel ini memang bukan orang-orang awam, atau bukan "anak ingusan", karena novel ini termasuk, menurut saya, novel berat. "Novel Berat" yang dikemas dalam bahasa yang indah, penuh metafora.

message 2: by Ilenk
05/22/2008 10:17PM

maka itu kalo ada seorang pengarang yg punya penerbit sampe terpingkal - pingkal berarti dia memang kadar ilmiahnya cuman segitu saja.. sebatas terpingkal pingkal.

Lanang memang bukan konsumsi anak kemaren sore yg baru belajar sastra, tetapi dia memang bacaan yang berbobot dari segi ilmiahnya...metafora bahasa puisi seperti yg dikatakan mbak meidy tepat sekali.

kurcaciku suka karena ada pembelajaran soal kajian ilmiah hewan trasgenik... walau untuk soal seks nya sementara tidak kusuruh membaca..

Lanang memang patut hanya dibaca oleh orang-2 yg mengerti sejatine Lanang....

Ninayuliana
05/22/2008 10:46PM

terus terang saya juga orang awam.... yang ternyata bisa menikmati novel lanang ini. saya suka bahasanya yang puitis, temanya yang gak umum.... dan akhir cerita yang menggantung itu memberikan ruang yang luas buat saya utk meneruskan cerita itu sendiri di imajinasi saya. menurut saya, novel ini memiliki kelebihan pada kemampuan penulis dalam menggambarkan kehidupan dokter hewan di sebuah desa dan segala problematikanya... hal yang jarang sekali atau memang tidak pernah terlintas di pikiran saya sebelumnya.... dengan membaca novel ini, saya terekspos pada hal-hal yang baru. Saya pikir banyak yang bisa kita ambil dari novel ini, banyak yang bisa kita pelajari.

No comments: