Oleh: Lisabona Rahman
Disampaikan pada Diskusi Novel Lanang, Jumat 23 Mei 2008
Kerjasama Dewan Kesenian Jakarta dan Penerbit Pustaka Alvabet
Sulit sekali untuk membaca buku ini dengan mandiri. Rasanya seperti pengantin laki-laki Betawi yang harus menghadapi jawara klan pengantin perempuan, saya harus melewati duabelas pembaca lain, yang pendapatnya bertaburan di sampul luar (depan dan belakang), sampul dalam, sampai kata pengantar. Saya putuskan untuk mengambil pintu samping dan menunda bertemu keduabelas jawara dan langsung masuk ke isi buku. Berikut iniiah pembacaan saya.
Meskipun barangkali semua hadirin sudah membaca Lanang, perkenankan saya membacakan plot cerita yang saya tangkap. Ini adalah pemaknaan pertama yang saya ajukan terhadap novel ini.
Tersebutlah seorang dokter hewan Iaki-laki yang tampan bernama Lanang. la mengabdi di suatu peternakan sapi perah di daerah pegunungan. Lanang masih pengantin baru, tapi demi pengabdiannya ia boyong istrinya yang cantik molek dan hampir selalu bergaun tipis melambai bernama Putri menyepi ke gunung, tanpa bulan madu. Setelah berhasil menolong kelahiran seekor anak sapi perah, Lanang menghadapi wabah penyakit sapi yang membuat semua sapi perah mati mengenaskan. Kemunculan wabah ini didahului pertemuan Lanang dan Putri dengan makhluk aneh yang disebut Burung Babi Hutan. Lanang berusaha mencari Burung Babi Hutan untuk menjawab pertanyaan apa hubungan makhluk itu dengan persoalan wabah yang dihadapi oleh sapi perah yang seharusnya ia rawat.
Karena Lanang diperkenalkan sebagai dokter hewan yang idealis dan peduli profesi, tentu saya berharap mengikuti penyelidikannya tentang wabah yang melanda populasi sapi perah di seluruh penjuru negeri. Mungkin seperti detektif. Tapi saya kecewa. Dokter hewan Lanang mengirimkan contoh sisa bangkai sapi ke laboratorium tanpa mencari tahu lebih jauh soai lingkungan kandang sapi, makanan atau minuman ternak itu. Mungkin saya terlalu banyak membaca novel detektif, sehingga berharap saya dituntun rasa penasaran menunggu uraian fakta demi fakta mencapai kesimpuian.
Setelah mendapat hasil laboratorium, Lanang bukan mempertanyakan gejala penyakit campur aduk yang dihadapinya, tapi justru memilih menyepi untuk memulihkan keseimbangan jiwanya. Putri digambarkan kecewa karena Lanang tidak mengajaknya ikut. Waktu Putri diperkosa oleh Burung Babi Hutan, Lanang meneruskan usahanya menenangkan diri dan bukannya pulang.
Sampai di sini, baiklah, barangkali Lanang bukan pahlawan yang sempurna meskipun ia tidak hanya tampan, bertubuh atletis dan pandai menyanyi. Tokh, ia punya tujuan lebih penting untuk mencari kedamaian diri sambil mampir ke pelacuran. Sementara di rumah, Putri bicara di telepon seperti berkomplot dengan seseorang, tapi membatin ingin sekali bersama Lanang.
Tidak pulangnya Lanang pada saat istrinya mengaiami kemalangan dan kontradiksi sikap Putri saya rasakan sebagai siasat mengulur cerita dan membungkus fakta. Peristiwa, sikap, ucapan maupun kemunculan tokoh-tokoh lain dalam cerita saya rasakan seperti keping-keping puzzle berserakan dan ditata pelan-pelan, tapi disembunyikan di bawah selubung lontaran-lontaran yang sengaja menyesatkan. Kejadian-kejadian diungkapkan tapi miskin detil bermakna, malah di beberapa bagian banyak detil yang diulang-ulang dengan persis (misainya detil kematian sapi) sama sehingga terasa menghambur-hamburkan kata. Saya tidak merasa ditantang untuk mengingat peristiwa ataupun deskripsinya untuk membantu saya memahami kesimpulan cerita.
Menjauhnya Lanang dari pusat kisaran investigasi kematian sapi untuk memasuki dunia privatnya membuat cerita patah dan kehilangan tegangannya. Investigasi wabah penyakit sapi, politik unjuk diri para peneliti maupun satir kelakuan penguasa makin melipir dari perkembangan karakter Lanang. Bagian ini memang memperkenalkan kita dengan Dewi, doktor ahli modifikasi genetika yang adalah bekas pacar Lanang. Tapi ikaian Lanang dengan seluruh rangkaian peristiwa yang begitu longgar membuat bagian yang paling potensial membangun ketegangan dan/atau simbolisasi dalam novel ini tersia-sia. Banyak detil kaya dari peristiwa wabah penyakit itu yang bisa melukiskan potret masyarakat digarap sangat hambar dan berjarak. Meskipun terasa ada bibit ironi, bahasa slogan ilrniah dalam bagian ini terlampau melimpah ruah, tidak efektif untuk membangun suasana absurd yang bahkan bisa mengundang tawa.
Pada akhir cerita kita memang diminta untuk memahami bahwa inti cerita adalah kegagalan cinta yang berakhir dengan balas dendam, sehingga boleh jadi perkembangan investigasi wabah ini (yang toh adalah siasat Dewi untuk menghancurkan Lanang) tidak menjadi prioritas olahan. Setelah Lanang membunuh Burung Babi Hutan, pada Bab "Gelombang Balik" (h. 235) cerita tiba-tiba berbelok patah memasuki konflik akibat sejarah percintaan Lanang dan Dewi. Memasuki babak balas dendam Dewi pun, saya masih ditipu dengan pernyataan-pernyataan batin Dewi yang meromantisir kerinduannya akan Lanang.
Perempuan-perempuan iblis dan latarnya
Saya kira, salah saya sendiri kalau berharap ada kejutan dalam penokohan para perempuan dalam novel berjudul "laki-laki".
Putri berkhianat. Afi melacur. Dewi membalas dendam. Semua perempuan dalam hidup Lanang adalah iblis-iblis cantik, molek dan menggairahkan seperti tiga pengantin perempuan Drakula (mereka muncul antara lain dalam versi karya Bram Stoker).
Di antara ketiganya, Dewi merniliki porsi suara ferbanyak. la bukan saja perempuan cantik, pintar, kaya, berkedudukan, menggairahkan dan pelaku seks ulung tapi juga otak perancang kehancuran Lanang. Tokoh Dewi cuma menggemakan latarnya, ia adalah personifikasi klise ibukota sebagai ibu tiri yang sering sekali kita temui dalam novel dan film Indonesia: mewah, dikelilingi teknologi modern, menggoda sekaligus kejam.
Di sisi yang berlawanan ada Putri, personifikasi yang juga klise dari wilayah bukan-kota. Rambutnya panjang terurai, selalu bergaun tipis melambai atau telanjang, bicara sedikit lewat kalimat-kalimat yang jarang sekali selesai. Sama seperti Dewi, Putri juga difugaskan menjadi gema pegunungan tempat ia tinggal: alam polos yang pasrah menunggu.
Perempuan yang paling lemah penokohannya adalah Afi. Lanang selalu menghampirinya, memperhatikan atau mengintipnya dari kejauhan. Tugas Afi dalam cerita sederhana saja: ditiduri, diambil cairan vaginanya dan bertanya pada Lanang, "Apa itu Mas?" atau, "Untuk apa Mas?" (h. 120).
Ketiga perempuan ini sama sekali tidak mengalami perubahan karakter sepanjang cerita. Bahkan Dewi dan Putri yang berkomplot menghancurkan Lanang pun tetap steril tak terpengaruh sedikitpun oleh peristiwa yang terjadi, Tidak adanya perkembangan karakter mereka walau apapun yang terjadi, bahkan dinyatakan sendiri oleh Lanang (h. 331), Semua tokoh di luar Lanang tak punya kekayaan dimensi, yang ada pada mereka (Pufri, Dewi, Rajikun - Afi tak termasuk) adalah peran yang disembunyikan.
Penutup
Setelah selesai membaca, saya mendatangi keduabelas jawara pembaca buku ini. Melihat pendapat mereka, saya makin merasakan serunya proses membaca Satu teks yang sama, bisa dibaca dari Barat sampai ke Timur, Utara sampai Selatan. Bukan main ragarn dan rumitnya isi kepala kita, manusia pembaca!
Jakarta, Mei 2008
Disampaikan pada Diskusi Novel Lanang, Jumat 23 Mei 2008
Kerjasama Dewan Kesenian Jakarta dan Penerbit Pustaka Alvabet
Sulit sekali untuk membaca buku ini dengan mandiri. Rasanya seperti pengantin laki-laki Betawi yang harus menghadapi jawara klan pengantin perempuan, saya harus melewati duabelas pembaca lain, yang pendapatnya bertaburan di sampul luar (depan dan belakang), sampul dalam, sampai kata pengantar. Saya putuskan untuk mengambil pintu samping dan menunda bertemu keduabelas jawara dan langsung masuk ke isi buku. Berikut iniiah pembacaan saya.
Meskipun barangkali semua hadirin sudah membaca Lanang, perkenankan saya membacakan plot cerita yang saya tangkap. Ini adalah pemaknaan pertama yang saya ajukan terhadap novel ini.
Tersebutlah seorang dokter hewan Iaki-laki yang tampan bernama Lanang. la mengabdi di suatu peternakan sapi perah di daerah pegunungan. Lanang masih pengantin baru, tapi demi pengabdiannya ia boyong istrinya yang cantik molek dan hampir selalu bergaun tipis melambai bernama Putri menyepi ke gunung, tanpa bulan madu. Setelah berhasil menolong kelahiran seekor anak sapi perah, Lanang menghadapi wabah penyakit sapi yang membuat semua sapi perah mati mengenaskan. Kemunculan wabah ini didahului pertemuan Lanang dan Putri dengan makhluk aneh yang disebut Burung Babi Hutan. Lanang berusaha mencari Burung Babi Hutan untuk menjawab pertanyaan apa hubungan makhluk itu dengan persoalan wabah yang dihadapi oleh sapi perah yang seharusnya ia rawat.
Karena Lanang diperkenalkan sebagai dokter hewan yang idealis dan peduli profesi, tentu saya berharap mengikuti penyelidikannya tentang wabah yang melanda populasi sapi perah di seluruh penjuru negeri. Mungkin seperti detektif. Tapi saya kecewa. Dokter hewan Lanang mengirimkan contoh sisa bangkai sapi ke laboratorium tanpa mencari tahu lebih jauh soai lingkungan kandang sapi, makanan atau minuman ternak itu. Mungkin saya terlalu banyak membaca novel detektif, sehingga berharap saya dituntun rasa penasaran menunggu uraian fakta demi fakta mencapai kesimpuian.
Setelah mendapat hasil laboratorium, Lanang bukan mempertanyakan gejala penyakit campur aduk yang dihadapinya, tapi justru memilih menyepi untuk memulihkan keseimbangan jiwanya. Putri digambarkan kecewa karena Lanang tidak mengajaknya ikut. Waktu Putri diperkosa oleh Burung Babi Hutan, Lanang meneruskan usahanya menenangkan diri dan bukannya pulang.
Sampai di sini, baiklah, barangkali Lanang bukan pahlawan yang sempurna meskipun ia tidak hanya tampan, bertubuh atletis dan pandai menyanyi. Tokh, ia punya tujuan lebih penting untuk mencari kedamaian diri sambil mampir ke pelacuran. Sementara di rumah, Putri bicara di telepon seperti berkomplot dengan seseorang, tapi membatin ingin sekali bersama Lanang.
Tidak pulangnya Lanang pada saat istrinya mengaiami kemalangan dan kontradiksi sikap Putri saya rasakan sebagai siasat mengulur cerita dan membungkus fakta. Peristiwa, sikap, ucapan maupun kemunculan tokoh-tokoh lain dalam cerita saya rasakan seperti keping-keping puzzle berserakan dan ditata pelan-pelan, tapi disembunyikan di bawah selubung lontaran-lontaran yang sengaja menyesatkan. Kejadian-kejadian diungkapkan tapi miskin detil bermakna, malah di beberapa bagian banyak detil yang diulang-ulang dengan persis (misainya detil kematian sapi) sama sehingga terasa menghambur-hamburkan kata. Saya tidak merasa ditantang untuk mengingat peristiwa ataupun deskripsinya untuk membantu saya memahami kesimpulan cerita.
Menjauhnya Lanang dari pusat kisaran investigasi kematian sapi untuk memasuki dunia privatnya membuat cerita patah dan kehilangan tegangannya. Investigasi wabah penyakit sapi, politik unjuk diri para peneliti maupun satir kelakuan penguasa makin melipir dari perkembangan karakter Lanang. Bagian ini memang memperkenalkan kita dengan Dewi, doktor ahli modifikasi genetika yang adalah bekas pacar Lanang. Tapi ikaian Lanang dengan seluruh rangkaian peristiwa yang begitu longgar membuat bagian yang paling potensial membangun ketegangan dan/atau simbolisasi dalam novel ini tersia-sia. Banyak detil kaya dari peristiwa wabah penyakit itu yang bisa melukiskan potret masyarakat digarap sangat hambar dan berjarak. Meskipun terasa ada bibit ironi, bahasa slogan ilrniah dalam bagian ini terlampau melimpah ruah, tidak efektif untuk membangun suasana absurd yang bahkan bisa mengundang tawa.
Pada akhir cerita kita memang diminta untuk memahami bahwa inti cerita adalah kegagalan cinta yang berakhir dengan balas dendam, sehingga boleh jadi perkembangan investigasi wabah ini (yang toh adalah siasat Dewi untuk menghancurkan Lanang) tidak menjadi prioritas olahan. Setelah Lanang membunuh Burung Babi Hutan, pada Bab "Gelombang Balik" (h. 235) cerita tiba-tiba berbelok patah memasuki konflik akibat sejarah percintaan Lanang dan Dewi. Memasuki babak balas dendam Dewi pun, saya masih ditipu dengan pernyataan-pernyataan batin Dewi yang meromantisir kerinduannya akan Lanang.
Perempuan-perempuan iblis dan latarnya
Saya kira, salah saya sendiri kalau berharap ada kejutan dalam penokohan para perempuan dalam novel berjudul "laki-laki".
Putri berkhianat. Afi melacur. Dewi membalas dendam. Semua perempuan dalam hidup Lanang adalah iblis-iblis cantik, molek dan menggairahkan seperti tiga pengantin perempuan Drakula (mereka muncul antara lain dalam versi karya Bram Stoker).
Di antara ketiganya, Dewi merniliki porsi suara ferbanyak. la bukan saja perempuan cantik, pintar, kaya, berkedudukan, menggairahkan dan pelaku seks ulung tapi juga otak perancang kehancuran Lanang. Tokoh Dewi cuma menggemakan latarnya, ia adalah personifikasi klise ibukota sebagai ibu tiri yang sering sekali kita temui dalam novel dan film Indonesia: mewah, dikelilingi teknologi modern, menggoda sekaligus kejam.
Di sisi yang berlawanan ada Putri, personifikasi yang juga klise dari wilayah bukan-kota. Rambutnya panjang terurai, selalu bergaun tipis melambai atau telanjang, bicara sedikit lewat kalimat-kalimat yang jarang sekali selesai. Sama seperti Dewi, Putri juga difugaskan menjadi gema pegunungan tempat ia tinggal: alam polos yang pasrah menunggu.
Perempuan yang paling lemah penokohannya adalah Afi. Lanang selalu menghampirinya, memperhatikan atau mengintipnya dari kejauhan. Tugas Afi dalam cerita sederhana saja: ditiduri, diambil cairan vaginanya dan bertanya pada Lanang, "Apa itu Mas?" atau, "Untuk apa Mas?" (h. 120).
Ketiga perempuan ini sama sekali tidak mengalami perubahan karakter sepanjang cerita. Bahkan Dewi dan Putri yang berkomplot menghancurkan Lanang pun tetap steril tak terpengaruh sedikitpun oleh peristiwa yang terjadi, Tidak adanya perkembangan karakter mereka walau apapun yang terjadi, bahkan dinyatakan sendiri oleh Lanang (h. 331), Semua tokoh di luar Lanang tak punya kekayaan dimensi, yang ada pada mereka (Pufri, Dewi, Rajikun - Afi tak termasuk) adalah peran yang disembunyikan.
Penutup
Setelah selesai membaca, saya mendatangi keduabelas jawara pembaca buku ini. Melihat pendapat mereka, saya makin merasakan serunya proses membaca Satu teks yang sama, bisa dibaca dari Barat sampai ke Timur, Utara sampai Selatan. Bukan main ragarn dan rumitnya isi kepala kita, manusia pembaca!
Jakarta, Mei 2008
No comments:
Post a Comment