http://groups.yahoo.com/group/Apresiasi-Sastra/message/40833
Inez Dikara
Hmm...mm... banyak ya istilah barunya :D.
Masih setia menanti jawaban atas pertanyaan Kinu ke Paman yang mengatakan ada "estetika di luar teks yang mengambang di permukaan" pada novel Lanang. Siapa tahu dapet ilmu baru ;-).
"dedy_tri_r"
Mengkritik, Sebuah Pengalaman Pribadi.
Saya teringat cerita proses pewahyuan yang dialami oleh seorang pemuda Arab
di dalam sebuah gua. Pemuda itu Muhammad namanya, dan yang datang kepada
dia adalah Jibril, penghulu malaikat. Hal yang pertama kali diminta oleh Jibril
kepada Muhammad adalah : Baca. Bacalah!
Pembacaan naskah secara utuh dan menyeluruh adalah langkah awal bagaimana
saya bisa mengapresiasi / mengkritik karya seseorang. Subjektivitas tidak akan
bisa lepas ketika saya melakukannya. Mungkin adakalanya saya harus melewatkan
beberapa lembar halaman sebuah novel karena menurut saya apa yang tertulis di halaman-halaman itu tidak berkaitan dengan cerita atau tersebabkan gaya penulisan
yang membuat saya merasa bosan hingga pada akhirnya saya ingin mendapatkan
'alur ceritanya' saja dari novel itu.
Ada kredit poin tersendiri jika saya bisa menemukan gaya bertutur yang asyik, atau
wacana imajinasi yang "out of the box" dari sebuah persoalan yang mungkin sederhana.
Hal yang sama, walaupun bersifat negatif, bila saya menemukan hal-hal yang sudah
terlalu umum untuk disebutkan/dituliskan, jika tidak mau dibilang "klise".
Setelah selesai dengan pembacaan, saya akan mencoba mengkaitkan apa yang sudah
pernah saya baca sebelumnya dengan naskah tersebut. Saya mencoba menelusuri
modus keterpengaruhan si penulis dengan penulis-penulis yang sudah lebih dahulu
menulis dibandingkan dia. Pada beberapa kasus penulisan resensi yang saya lakukan
untuk beberapa novel, saya memang kadang berhasil menemukan kemiripan-kemiripan
walaupun cuma sekedar "feel" dari novel-novel yang pernah saya baca sebelumnya.
Semalam, di akhir acara Reboan, saya berdiskusi tentang pesan yang hendak disampai-
kan atau setidaknya diinginkan oleh Yonathan Rahardjo dalam novel pertamanya
"Lanang". Salah satu hal yang saya kritik dari novel tersebut adalah pemunculan hewan transgenik yang disebut Burung Babi Hutan. Saya mengkritik karena kebetulan saya
punya latar belakang di bidang biologi. Menariknya, ternyata menurut Mas Yon
: "Lanang tidak melulu berbicara soal kewaspadaan bahkan penolakan terhadap
rekayasa genetika melainkan sudah berbicara mengenai hegemoni" (yang akan dibahas
di PDS HB Jasin nanti).
Dari diskusi itu akhirnya saya sadar bahwa ada keterbatasan yang saya miliki dalam
mengkritik adalah jika ditemukan sudut pandang baru dari sebuah naskah itu. Dan hal
ini menegaskan bahwa seorang kritikus harus punya multidimensi keilmuan yang
harus memadai daripada sekedar kemampuan membaca belaka, walaupun seperti
awalan tulisan ini membaca haruslah jadi langkah awal.
Bacalah!
Salam Glagah Tebu,
Dedy
Inez Dikara
Hmm...mm... banyak ya istilah barunya :D.
Masih setia menanti jawaban atas pertanyaan Kinu ke Paman yang mengatakan ada "estetika di luar teks yang mengambang di permukaan" pada novel Lanang. Siapa tahu dapet ilmu baru ;-).
"dedy_tri_r"
Mengkritik, Sebuah Pengalaman Pribadi.
Saya teringat cerita proses pewahyuan yang dialami oleh seorang pemuda Arab
di dalam sebuah gua. Pemuda itu Muhammad namanya, dan yang datang kepada
dia adalah Jibril, penghulu malaikat. Hal yang pertama kali diminta oleh Jibril
kepada Muhammad adalah : Baca. Bacalah!
Pembacaan naskah secara utuh dan menyeluruh adalah langkah awal bagaimana
saya bisa mengapresiasi / mengkritik karya seseorang. Subjektivitas tidak akan
bisa lepas ketika saya melakukannya. Mungkin adakalanya saya harus melewatkan
beberapa lembar halaman sebuah novel karena menurut saya apa yang tertulis di halaman-halaman itu tidak berkaitan dengan cerita atau tersebabkan gaya penulisan
yang membuat saya merasa bosan hingga pada akhirnya saya ingin mendapatkan
'alur ceritanya' saja dari novel itu.
Ada kredit poin tersendiri jika saya bisa menemukan gaya bertutur yang asyik, atau
wacana imajinasi yang "out of the box" dari sebuah persoalan yang mungkin sederhana.
Hal yang sama, walaupun bersifat negatif, bila saya menemukan hal-hal yang sudah
terlalu umum untuk disebutkan/dituliskan, jika tidak mau dibilang "klise".
Setelah selesai dengan pembacaan, saya akan mencoba mengkaitkan apa yang sudah
pernah saya baca sebelumnya dengan naskah tersebut. Saya mencoba menelusuri
modus keterpengaruhan si penulis dengan penulis-penulis yang sudah lebih dahulu
menulis dibandingkan dia. Pada beberapa kasus penulisan resensi yang saya lakukan
untuk beberapa novel, saya memang kadang berhasil menemukan kemiripan-kemiripan
walaupun cuma sekedar "feel" dari novel-novel yang pernah saya baca sebelumnya.
Semalam, di akhir acara Reboan, saya berdiskusi tentang pesan yang hendak disampai-
kan atau setidaknya diinginkan oleh Yonathan Rahardjo dalam novel pertamanya
"Lanang". Salah satu hal yang saya kritik dari novel tersebut adalah pemunculan hewan transgenik yang disebut Burung Babi Hutan. Saya mengkritik karena kebetulan saya
punya latar belakang di bidang biologi. Menariknya, ternyata menurut Mas Yon
: "Lanang tidak melulu berbicara soal kewaspadaan bahkan penolakan terhadap
rekayasa genetika melainkan sudah berbicara mengenai hegemoni" (yang akan dibahas
di PDS HB Jasin nanti).
Dari diskusi itu akhirnya saya sadar bahwa ada keterbatasan yang saya miliki dalam
mengkritik adalah jika ditemukan sudut pandang baru dari sebuah naskah itu. Dan hal
ini menegaskan bahwa seorang kritikus harus punya multidimensi keilmuan yang
harus memadai daripada sekedar kemampuan membaca belaka, walaupun seperti
awalan tulisan ini membaca haruslah jadi langkah awal.
Bacalah!
Salam Glagah Tebu,
Dedy
No comments:
Post a Comment