Pages

Search Here

I Bambang Sugiharto: “LANANG” : Imajinasi yang Menawan dalam Kemasan Canggung


Review: Bedah Buku Novel “Lanang”, karya Yonathan Rahardjo, PDS H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, 30 Juni 2008



“LANANG” :
Imajinasi yang Menawan dalam Kemasan Canggung


Oleh: Bambang Sugiharto
Guru Besar Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Juri Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006.


Novel “Lanang” adalah sebuah karya yang agak aneh dari Yonathan Rahardjo. Novel yang pada banyak bagiannya memainkan kekuatan bahasa puitik itu , ternyata berbeda dari novel-novel puitik yang telah melanda dunia sastra kita sekitar dasawarsa terakhir ini. Mereka yang terbiasa dengan kecanggihan memadukan bahasa puitik dan bahasa deskriptif ala Ayu Utami, Nukila Amal ataupun Linda Christanty misalnya, saat membaca novel “Lanang” akan menemukan adanya kepincangan antara kemampuan puitik dan kemampuan deskriptif itu. Membaca “Lanang” membutuhkan kesabaran untuk bertahan menghadapi kalimat-kalimat ganjil dan nyaris mentah terutama di bagian awal, sambil tetap berupaya memasuki bagian-bagian yang lebih jauh di tengah dan belakang. Betapa tidak, bagian-bagian awal penulisannya memang seperti agak canggung, terutama pada deskripsi-deskripsi suasana percintaan, yang sering terasa klise dan memberi kesan amatir. Namun, andai untuk sementara hal itu diabaikan, lama-kelamaan kesan itu agak terhapus dan perlahan-lahan kita akan terseret ke dalam irama penataan tegangan dan pengolahan jaringan tematik yang pelik, yang sesungguhnya mendalam, sangat imajinatif dan mengesankan. Bahkan, sisi substansi tematik itulah yang menonjol pada novel ini, unsur yang -antara lain- telah menjadikannya salah satu pemenang Sayembara Novel DKJ 2006. Tema rekayasa genetika dan pengolahan alur ceritanya yang memadukan unsur thriller dengan eksplorasi persoalan-persoalan pelik pada ranah psikologi, agama, bisnis, sosial dan politik itu mendudukannya pada posisi unik dalam khasanah sastra Indonesia.

Alur penuh teka-teki
Pada dasarnya novel ini adalah cerita tentang dokter hewan bernama ‘Lanang’ yang terperangkap dalam jaringan intrik rumit bisnis rekayasa genetika dan akhirnya menjadi salah satu korban rekayasa tersebut. Itu terjadi di satu pihak akibat dendam percintaan para perempuan (Dewi dan Putri) yang merasa telah dipermainkan oleh Lanang, di pihak lain akibat kepentingan bisnis para perempuan tersebut di bidang rekayasa genetika yang memang membutuhkan tubuh manusia sebagai perantara untuk persilangan kecenderungan genetik positif burung dengan kecenderungan genetik negatif babi hutan.
Yang menarik adalah bagaimana alur cerita itu dikembangkan dan ditata dengan sisipan misteri atau teka-teki di sana sini, lantas diberi jawaban di bagian akhir novel. Bagai cerita detektif , Yonathan Rahardjo mengawali novelnya dengan semacam gimmick yang memancing perhatian, yaitu kemunculan suatu mahluk ganjil -‘Burung Babi hutan’- yang mengganggu kemesraan Lanang dan istrinya (Putri), serta kematian mendadak sapi-sapi perah di desa tempat kerja Lanang, bagai wabah yang mengerikan. Sejak itu Lanang terobsesi memburu penyebab utama wabah ternak itu sekaligus hendak mencari tahu apa gerangan Burung Babi hutan itu; dua hal yang tampak seperti saling berkaitan . Ketika masyarakat mulai ramai memerkarakan wabah itu, tiba-tiba tampillah sosok misterius bernama Rajikun, yang dianggap sebagai Dukun Hewan dan memastikan bahwa penyebab wabah memang burung babi hutan itu. Terjadilah kekisruhan politik akibat konflik antara pandangan ilmiah kedokteran-hewan dengan pendapat dukun yang tak masuk akal dan berbau klenik. Dari sana terjadilah perumitan persoalan berlapis-lapis : Lanang yang awalnya tampak bagai seorang dokter yang baik, religius, dan berdedikasi tinggi, ternyata suka pergi ke pelacuran, kendati sudah beristri masih juga mengencani Dewi mantan pacarnya seolah tanpa beban, gemar mengumpulkan cairan dari kelamin perempuan-perempuan, dibayangi terus oleh halusinasi melihat burung babi hutan, dst. Dan segala kerumitan itu lantas berakhir dengan berhasilnya Lanang membunuh burung babi hutan. Dengan ritual aneh yang memadukan rumusan ilmiah genetika dan keyakinan religius Lanang berhasil memancing kemunculan burung babi hutan itu, lantas menembaknya hingga tewas. Ini tampak sebagai semacam klimaks awal dari ketegangan yang ditata dengan bagus.
Namun ternyata itu bukan akhir cerita. Setelah situasi desa pulih kembali dan Lanang dielu-elukan sebagai pahlawan, perlahan-lahan Lanang memasuki jaringan bisnis penuh intrik. Tapi itu tak lama, sebab cerita menanjak dan mengklimaks lagi saat Lanang akhirnya dituding di depan umum oleh Rajikun sebagai pencipta burung babi penyebar wabah, dan sekaligus saat itu dibeberkan pula segala kebiasaan seksual Lanang yang penuh aib. Tentu saja reputasi Lanang mendadak jatuh berantakan. Ia menjadi skandal. Tak hanya itu, di saat lain Lanang memergoki Putri, istrinya, sedang bersetubuh dengan Rajikun. Celakanya itu terjadi atas permintaan Putri sendiri. Rajikun ternyata melakukannya sebagai balas dendam atas masa lalunya yang juga pernah dirusakkan oleh Lanang, kendati Lanang tak sepenuhnya menyadari. Alhasil Lanang lantas mengalami kehancuran batin bertubi-tubi dan seperti menjadi gila. Dalam situasi itu ia pun ditangkap dan dimasukkan ke dalam laboratorium sebuah perusahaan untuk bahan percobaan. Di puncak segala peristiwa itu dibukakanlah jawaban segala misteri: ternyata semua kejadian itu adalah rekayasa Dewi, direktur perusahaan genetika tersebut, yang hendak menghancurkan Lanang karena dendam sakit hati, tapi juga karena hendak menggunakan tubuh Lanang demi kepentingan bisnisnya bersama dengan perusahaan asing. Adapun Rajikun, Putri, Burung Babi, dsb. hanyalah bagian dari rekayasa yang didalangi Dewi itu.

Kerumitan tematik
Tema yang digarap Yonathan dalam novel ini berlapis-lapis. Tema utama barangkali cinta, seks, dan balas dendam. Di sini yang menarik adalah penampilan aspek ilusoris dari cinta. Pada tokoh Dewi maupun Putri, kendati sejak awal mereka paham bahwa cinta hanyalah ilusi, sepertinya tetap saja cinta itu mereka nikmati. Mereka seperti menjadi pribadi lain. Ketika ilusi itu akhirnya terbongkar, mereka pun berubah lagi. Sedang pada Lanang cinta sepertinya memang tidak mesti identik dengan kesetiaan seksual. Dan sebaliknya, perselingkuhan seksual tidak mesti berarti penghianatan atas cinta. Pada lelaki Lanang seks sepertinya hanyalah aliran naluriah-fisik belaka. Meskipun begitu diam-diam ia menikmati harga diri kelelakiannya dalam keperkasaan seksual itu juga. Di sana ia merasa bagai ‘Tuhan’, yang menguasai para perempuan. Namun persis titik itulah ilusi Lanang, ilusi kedigdayaan, sebab bagi para perempuan itu keperkasaan seksual Lanang hanya menunjukkan bahwa ia tak lebih dari sekedar pejantan. Sebuah permainan ilusi yang sebenarnya mencerminkan kebodohan laki-laki umumnya: pada saat ia merasa hebat dan menguasai, di situlah ia justru sedang dikuasai dan lemah. Di akhir novel supremasi kaum perempuan bahkan menjadi demikian eksplisit. Di sana akhirnya Lanang menjadi sekedar robot atau bahkan zombie belaka di bawah kendali Dewi, sang majikan.
Tema lain yang sangat menonjol tentu adalah ihwal bisnis dunia kesehatan dan industri obat. Novel ini mengeksplorasi dengan rinci, dan seringkali sangat teknis, kait-mengait berbagai instansi dalam jaringan penipuan yang teramat massif, termasuk permainan politik dengan pemerintah. Demikian banyak siasat dilematis ditampilkan. Bagaimana misalnya zat-zat transgenik tertentu bisa memacu produktivitas namun sekaligus menimbulkan kemungkinan penyakit. Dan itu justru disengaja, sebab kemudian perusahaan akan menjual obat penangkalnya. Semua hanya demi mata-rantai pemasaran belaka.
Tak kalah menariknya adalah perpaduan antara wacana bio-teknologi dengan perspektif spiritual religius nyaris klenik. Zat yang menjadi penyebab wabah misalnya, dilukiskan sebagai semacam gas dari persilangan antara gen kebodohan dan gen kemalasan. Gas ini perilakunya bagai roh , yang mencari tubuh-tubuh yang batinnya kosong, sekaligus bisa keluar-masuk tubuh bagai energi cahaya. Atau sewaktu Lanang membuat percampuran kimiawi demi menghadirkan burung babi hutan, ternyata percampuran itu menimbulkan reaksi karena dibarengi ritual doa, dan hasilnya pun menjadi sembilan ‘biji utama’ berwarna merah muda, yaitu biji ‘kasih’, biji ‘sukacita’, dst.seperti yang termaktub dalam Kitab Suci kristiani. Ini imajinasi brilian yang teramat ganjil dan tak terduga. Namun salah satu bagian terbaik dari novel ini adalah saat melukiskan konflik-konflik keagamaan. Di sana segala bentuk kemunafikan dan kerapuhan nafsu badani ditelanjangi; baik dalam konteks Lanang, Rajikun, Putri maupun Dewi. Yang menarik adalah bahwa segala keyakinan suci dilukiskan berdampingan tanpa beban dengan perilaku-perilaku bejat. Dan itu memang fenomena-fenomena menakjubkan yang lazim terjadi di negeri ini.

Pengembangan Tegangan dan Karakter
Keterampilan Yonathan menata alur dan mengembangkan ketegangan juga menawan. Bagai sutradara film yang berpengalaman ia menyeret pembaca mencapai ledakan-ledakan klimaks yang berrantai : segala adegan di bagian-bagian awal ditata menanjak menuju tertembaknya burung babi hutan. Setelah itu situasi mengendur dengan kesuksesan Lanang. Namun tak lama kemudian situasi digenjot lagi ke arah klimaks berikutnya, yaitu terbongkarnya skandal kehidupan Lanang secara mendadak oleh Rajikun. Pada bagian ini reaksi Lanang di depan umum yang kacau dan meracau dengan bait-bait puisi yang tak terpahami adalah pelukisan psikologi yang cerdas dan tak terduga atas kepanikan memuncak yang tak tertahankan. Dan setelah itu adegan dipacu terus hingga meledak di akhir cerita dengan kegilaan Lanang, yang diikuti pembongkaran aneka misteri dalam pidato Dewi. Di tangan sutradara yang piawai novel ini niscaya dapat diangkat menjadi film sci-fi terobosan yang menawan dan berbobot, mengingat belum ada film sci-fi cukup berarti yang dihasilkan oleh negeri ini.
Dalam pengembangan karakter, yang menarik adalah bahwa ketika Lanang dilukiskan bergeser dari ideal tinggi perlahan menurun, rusak dan akhirnya gila, Dewi dilukiskan sebaliknya: menanjak, merumit dan akhirnya keluar aslinya yang bengis, ambisius dan luarbiasa cerdas. Sementara itu Putri adalah kelembutan misterius yang merayap tenang di bagian-bagian awal, namun menyeruak mengejutkan di bagian akhir, menyertai Dewi. Sosok unik yang pelik dalam novel ini sebenarnya adalah Rajikun, suatu tokoh yang tak persis hitam-putih, melainkan sebuah karisma yang licin, licik dan pandai memainkan situasi demi kepentingannya sendiri. Bila sosok Dewi masih terasa agak stereotipikal, sosok Lanang maupun Rajikun memperlihatkan keunikan dan kerumitan karakter, yang menunjukkan observasi psikologis lumayan tajam dari penulis novel ini.

Beberapa hal yang mengganggu
Seperti telah disinggung di depan, hal yang menganggu dalam novel ini adalah deskripsi-deskripsi puitik yang di bagian-bagian awal terasa canggung, klise dan amatiran. Lihatlah kalimat-kalimat ini misalnya “Kabut pun menutup rumah-rumah penduduk yang begitu berjauhan letak antara satu rumah dengan rumah lainnya; meski dikatakan, mereka bertetangga dekat” (hlm 2). Atau “Ah, ia pun takut jangan-jangan tempat tidur itu adalah batu cadas yang akan memecah pualam yang selalu dilindunginya sehati-hati mungkin, seperti perempuannya menjaga biji matanya yang bersinar lembut cemerlang.” (hlm 8). Juga ungkapan macam ini “Amboi, bahkan alam pun berpihak pada kita….Ia belai-belai kita dengan napasnya yang melambaikan buatan-buatan manusia, mengipas-ngipas agar kita makin membara.” ( hlm 9). Masih banyak frasa yang bukan saja canggung ungkapan puitiknya , melainkan juga kabur imajinasi logisnya seperti itu. Dan ini bertaburan dimana-mana. Tapi itu terasa terutama manakala Yonathan sedang mendeskripsikan situasi atau adegan. Ini misalnya :”Akankah Lanang bisa menahan gempurannya ? Tamu, tamu yang ingin datang yang dia tidak pernah merasa diundang tapi akan datang dan menjemput” (hlm 321). Seolah pada titik-titik tertentu kemampuan deskriptif Yonathan seperti tersesat dan struktur bahasanya menjadi kusut. Namun anehnya, secara keseluruhan alur cerita berjalan dengan baik, bahkan dengan peningkatan intensitas ketegangan yang lantas meledak. Sebetulnya di saat-saat ia membuat puisi saja dan tak mesti dibebani fungsi deskriptif Yonathan seperti tak punya masalah. Lihat misalnya ketika Lanang meracau mendaraskan puisi panjang setelah dipermalukan di depan umum oleh Rajikun. Yang muncul adalah frasa-frasa kacau yang menawan dan menggetarkan macam ini : “Baja telikung hati jadi banci/ terkabar dalam kecup bundar bumi/ Rombengkan mimpi kian membatu/…Konstata dalam goncangan kuantum/ harubirukan jilatan kadal buntung/ ketabahanku merajut benang menjadi jaket/ adalah kekuatan dalam jari bermata”,dst.dst.
Namun semakin ke dalam kelemahan itu seperti kian tak terasa. Seakan mesin penulisan Yonathan makin ke dalam makin panas dan fasih. Namun terlepas dari kecanggungan linguistik itu, toh bagian-bagian yang melukiskan reflektivitas atau perang batin masih cukup tersampaikan dengan baik dan tak banyak terganggu.
Akhirnya yang perlu diingat adalah bahwa dalam suatu kompetisi, kualitas yang dimiliki para pemenang umumnya adalah kualitas dalam arti ‘keunggulan komparatif’ yang tampak menonjol hanya dalam konteks kecil kalangan peserta saja. Dan dalam konteks komparatifnya itu tetaplah novel “Lanang” memiliki keunikan dan keunggulannya sendiri.

No comments: