Pages

Search Here

Perjuangan Penulis Melalui Sebuah Karya

http://fiximix.multiply.com/journal/item/51

Oleh
Nurdiyansah

Setelah beberapa kali FiXiMix berhasil mengadakan acara tentang berbagi pengalaman dan perjuangan melahirkan karya fiksi pertama bersama berbagai seniman fiksi (sastra dan film), di antaranya Happy Salma, Eka Kurniawan, Dionys Dhewanindra, dan yang terakhir bersama 4 penulis dalam Fiksi ¾ (3 novel berbeda genre dari 4 penulis), maka pada sabtu, 13 September 2008, acara serupa kembali diadakan di stasiun fiksi FiXiMix Jagakarsa. Kali ini merupakan edisi istimewa kedua karena menampilkan 8 penulis dalam satu waktu dan berlangsung di bulan puasa. Sehingga jadilah hari itu sekaligus ajang berbuka bersama para seniman fiksi.

Fiksi Pertamaku istimewa Ramadhan menghadirkan enam karya dari delapan penulis yang telah berhasil memublikasikan karya mereka ke dalam bentuk buku puisi dan novel. Mereka adalah Nuruddin Asyhadie (antologi puisi berjudul “Beatnick”), Budhi Setyawan (antologi puisi berjudul “Kepak Sayap Jiwa”), Johannes Sugianto (antologi puisi berjudul “Lengkung Alis”), Setyo Bardono (antologi puisi berjudul “Mengering Basah”), Yonathan Rahardjo (novel berjudul “Lanang”), dan kolaborasi Maulana Ahmad, Dedy Tri Riyadi, dan Inez Dikara (antologi puisi berjudul “Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan”).

Acara diawali dengan sesi pertama oleh tiga penulis yang berkisah tentang bagaimana proses pergulatan mereka melahirkan karya. Nuruddin memulai perbincangan dengan begitu entengnya, membuat pernyataan bahwa kesulitan dalam penerbitan karyanya, yang sempat ditakutkan sebelumnya, nyatanya tidak terjadi. “Tak ada yang istimewa dari proses penerbitan,” begitu katanya. Kesulitan tentang penyeleksian yang dipikirkannya kala itu, untungnya tidak terjadi pada kelahiran “Beatnick”-nya. Ia malah lebih banyak menyoalkan bagaimana sebuah pembuahan dalam diri seorang penulis yang pada akhirnya berhasil menampakkan bakatnya dalam karya berbentuk puisi. Ia mengumpulkan perenungannya sendiri tentang hidup, tradisi, dan juga apa yang diistilahkannya sebagai kemalingkundangan wajah penyair di Indonesia.

Berbeda dengan Nuruddin, Budhi Setyawan memiliki kisah berbeda tentang “Kepak sayap Jiwa” miliknya yang terbit mandiri, atau dengan kata lain melalui jalur indie. Budhi Setyawan yang tumbuh dalam keluarga yang tertib dan kaku, mengakui merasakan kebebasan baru yang mendorongnya berkarya pada saat ia menempuh pendidikan di Jogja. Ia mengawali ekspresi bebas seninya dengan bermusik. Seorang penulis yang sempat menjadi musisi jalanan ini selanjutnya memulai perenungannya terhadap kekaguman alam, makhluk-makhluk halus, dan lainnya, yang berujung pada penulisan karya puisi. Meski sempat tidak percaya diri terhadap bakat menulisnya, namun dengan bergaul bersama sesama seniman dan komunitas sastra, ia terus giat menulis sampai penulis lain mengatakan bahwa puisinya lumayan bagus dan ia berbakat menulis. Maka, jelek atau baik, baginya, buku adalah seorang anak. Dengan keberadaan modal, ia pun memberanikan diri menerbitkan sendiri.

Keberanian yang ditunjukkan oleh Budhi Setyawan, adalah juga ideologi dari penulis buku “Lengkung Alis”, Johannes Sugianto. Penulis yang akrab dengan karakter puisi romantis ini, berujar “Nggak perlu meyakinkan penerbit untuk menerbitkan buku, tetapi yakinkan diri sendiri.” Kadang yang jadi soal dalam menerbitkan buku adalah bukan sekadar keinginan semata, melainkan apakah ia punya keberanian untuk merealisasikan keinginannya tersebut. Keberanian bagi Johannes, adalah juga keberanian untuk menerima kritik dan keberanian untuk tampil menunjukkan diri. Jadi, soal publikasi seperti tawaran wawancara di beberapa media langsung diterimanya untuk menunjukkan diri sebagai penulis. Mungkin itulah yang membua ia tanpa ragu menanggung sendiri 95% biaya penerbitan bukunya.

Pada sesi kedua, giliran Setyo Bardono bercerita tentang “Mengering Basah”-nya. Dalam berkarya, Setyo bisa dikatakan tidak pernah takut bereksplorasi. Maka, tidak heran kalau format (bentuk/susunan) puisi-puisi pada antaloginya, menampilkan permainan bentuk yang unik. Tidak kaku dan tidak takut dibilang melakukan vandalisme dalam buku. Ia berpendapat, “kata-kata bisa menemukan jalannya.” Sehingga tidak mengherankan jalan kepenulisannya kerap menemukan berbagai kebetulan. Seperti insipirasi menulisnya yang datang tiba-tiba, pertemuannya dengan seorang penulis terkenal, sampai karyanya menjadi sebuah buku. Tetapi kebetulan itu bukan berarti sebuah hasil tanpa usaha, sebab tulisannya pun sempat ditolak media, meski pada akhirnya datang tawaran untuk membuatnya menjadi sinetron. Biarpun karya telah dibukukan, tentu kita menyadari ia telah berjuang keras hingga tahap ini karena ia merelakan royalti penjualan pada penerbit. Saat ini, antologinya yang banyak memuat karya-karya yang bercerita tentang berbagai keadaan di kereta api listrik, maka ia pun berniat menawarkan kerja sama dengan PT KA. Kita tunggu saja hasilnya.

Penulis lainnya, Yonathan Rahardjo, mengakui terbitnya “Lanang”, adalah usaha yang sangat tidak mudah. “Lanang” merupakan novel yang disertakannya pada sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pertama kali ia mengikutsertakannya, “Lanang” kalah. Namun, Yonathan tidak menyerah begitu saja, ia pun merevisi kembali “Lanang” untuk diikutkannya lagi pada sayembara di tahun 2006. “Lanang” pun sukses menyabet gelar juara. Tetapi, perjuangannya tidak berhenti di situ. Yonathan sempat luntang-lantung selama satu tahun mencari penerbit. Lalu, ditolak sebuah penerbit besar yang merajai toko buku di mall-mall dengan alasan pasaran novel sedang tidak baik, padahal nyatanya ia menemukan penerbit tersebut menerbitkan novel lain kala itu. Kemudian, ditolak lagi oleh penerbit yang bernama sama dengan koran nasional terkemuka dengan alasan tidak cocok dengan karakter penerbit. Pada penerbit lainnya ia juga ditolak dengan berbagai alasan, termasuk soal banyaknya bagian yang harus diedit, sehingga sampai mengurangi bertumpuk halaman. Tapi akhirnya Lanang terbit juga. Ia pun menyimpulkan perjuangannya menerbitkan buku dengan berkata, kalau penulis harus jadi petarung dalam dunia sastra untuk sekadar bisa menerbitkan karya.

Kisah-kisah di atas tentu berbeda dengan kisah dari “Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan”, yang merupakan karya kolabarasi dari tiga orang penulis. Apa beda karya kolabarasi dengan yang bukan kolabarasi? Maulana Ahmad dan Dedy Tri Riyadi yang berpartsipasi dalam acara (penulis lainnya, Inez Dikara tidak hadir), menjelaskan bagaimana awalnya kolaborasi ini bisa tercipta. Diawali dengan komunikasi intens dalam chatting maupun perbincangan milis oleh ketiga penulis yang berujung pada keberanian menerbitkan buku. Ketiganya lantas sepakat memulai persiapan bagi karya pertama mereka. Awalnya dilakukan dengan pematangan ide, bukan tema, oleh penyunting/editor. Namun pertentangan datang ketika menyadari kekuasaan yang dimiliki oleh seorang editor bisa jadi malah membuat bahasa puisi yang sudah ekonomis, menjadi tidak orisinil. Maka, konflik tersebut ditengahi dengan kesepakatan untuk setiap penulis menyerahkan sejumlah karya pada editor untuk kemudian dipilih masing-masing sepuluh puisi yang akan ditampilkan. Sehingga peran editor puisi, bukan sebagai penyunting naskah, melainkan sebagai penyeleksi mana karya yang akan ditampilkan. Tetapi itu bukan berarti menyelesaikan hambatan mereka, selanjutnya mereka dihadapkan pada biaya dan oleh siapa akan diterbitkan. Yang kemudian berujung konflik kecil karena tiga kepala yang masing-masing memiliki ego yang sulit disatukan. Maka, dengan biaya 7 juta yang didapat dari hasil patungan, mereka menerbitkan antalogi puisi mereka di Jogja dan dicetak secara indie. Setelahnya, kesulitan dalam hal distribusi dan kontrol percetakan, membuat mereka kemudian menyarankan hadirin Fiksi Pertamaku untuk tidak menerbitkan karya di luar kota si penulis tinggal. Seorang aktivis fiksi FiXiMix, juga memberikan masukan bahwa penulis Indonesia sudah saatnya memiliki manajer sendiri.

Pengalaman dan perjuangan dari para penulis yang hadir sebagai pembicara pada diskusi “Fiksi Pertamaku” di FiXiMix kali ini, tentu bukan bermaksud untuk menekankan, apalagi menakut-nakuti penulis muda yang sedang dalam proses untuk mewujudkan keinginannya, yaitu menerbitkan karyanya, melainkan sebagai sebuah pengetahuan berharga yang patut dimiliki penulis muda sekarang. Bahwa dengan menyimak kesulitan yang dialami para penulis tersebut, setidaknya para penulis muda memiliki pengetahuan atas bagaiamana sebuah karya bisa masuk penerbit dan toko buku. Semua itu adalah tentu modal penting bagi penulis muda mempersiapkan secara matang karyanya untuk kemudian sampai di tangan pembaca, pastinya dengan sama-sama saling menguntungkan, baik penulis, penerbit, distributor, toko buku, dan semua pihak yang terlibat dalam alur penciptaan buku. fx

No comments: