Hudan Hidayat[1]:
lanang dan puncak puncak novel indonesia
- untuk bla dan gieb
dunia kepastian
kehidupan selalu menarik untuk direnungkan kembali. Seorang ilmuwan mengamati gejala dalam dunia. Gejala yang berulang, dalam ruang dan dalam waktu. Ia membuat representasi kenyataan akan dunia, membentukkannya ke dalam sains. Sains, menjadi bentuk dari dunia yang ditemukan polanya. Ia menjadi hukum yang berlaku pada kenyataan dunia. Hukum di mana ilmuwan membuat klaim akan kepastian. Bahwa dunia stabil dalam pola. Tetap dalam bentuknya.
Dalam bentuk dunia seperti itu, bentuk sains, keindahan juga melekat sebagai sesuatu yang terberi. Keindahan bentuk sains bagi mereka yang mencoba merenungkan kembali. Kita bisa melihat lapisan lapisan yang nampak, atau mengimajinasikan lapisan lapisan terjauh, di mana kita telah kehilangan kontrol indera atasnya. Alat bantu, yang adalah hasil sains, menautkan imajinasi kita akan dunia yang tak terindra itu.
Dunia nampak indah – dunia yang berputar seolah mesin raksasa yang berputar.
Seseorang bisa tampil dengan imajinasi: memberantakkan pola yang melekat dalam dunia sebagai hukum, ke dalam kehendak pencampuran, atau pembalikan hukum. Apa jadinya kalau hukum bumi mengitari matahari diputar, ke dalam bumi mengitari galaksi bima sakti? Atau dunia yang mengitari berjuta juta galaksi. Waktu setahun berantakan, terentang tak terhingga. Semua berubah, dengan tingkat kemungkinannya yang tak terduga. Apa jadinya kalau semua itu bisa diangkut sains ke dalam laboratorium, dan kita melihat tahapan tahapannya dalam laboratorium, di mana semua unsur unsur yang dibalik bekerja. Keindahan sains kini ada dalam pandangan mata.
Tapi imajinasi seperti ini, mengalami tingkat kesukaran ganda. Pertama, apakah tenaga yang menggerakkan sehingga bumi berputar? Jelas dia adalah bagian dari hukum yang melekat dalam alam – bumi – sebagai sesuatu yang terberi. Tapi bagaimana menangkapnya? Membuatnya terperangkap ke dalam kanal, sehingga bisa diolah untuk kemungkinan lain – semisal menggerakkan bumi mengitari bima sakti, atau seluruh galaksi. Bukan semata mengitari matahari.
Kesukaran kedua, mungkinkah tenaga yang menggerakkan bumi bisa ditangkap atau ditatap? Diangkut ke dalam lab, sebagai sesuatu, untuk diberi fungsi lain? Kita bisa menyaksikan sinar matahari yang merambat ke bumi. Merasakan getar panasnya. Gabriel bahkan telah membuatnya, atau membentuknya, ke dalam fiksi. Sebuah kemungkinan dari panas matahari yang dipantulkan melalui kaca, telah membuat sang pemimpi gila terbakar hampir seluruh tubuhnya.
Itulah adegan awal dari novel seratus tahun kesunyian. Di mana hukum dunia dicoba dimainkan ke dalam fiksi. Tapi tenaga bumi? Sebuah energi yang tak nampak tapi telah dengan pasti membuat bumi kita berputar, adakah sains yang diangankan mengandung kepastian, bisa menangkapnya? Adakah kepastian sebagai sesuatu yang telah tertangkap itu, sekali lagi, bisa kita tatap tahapan tahapannya di dalam laboratorium. sebagai keindahan sains, yang bisa dikenali orang awan di dalam laboratorium.
Bahwa itu belum terjadi, atau mungkin tidak akan terjadi, adalah beban yang disandang oleh manusia, kaum ilmuwan yang mendeklarasikan sains, sebagai dunia kepastian. Sebagai bentuk kerja mental manusia yang menguakkan misteri dunia, sehingga dunia tak bermisteri lagi. Dunia yang kehilangan misteri lagi, oleh sebagian ilmuwan, telah membuat mereka menggeser pandangan tentang tuhan, yang melekatkan kuasanya kepada hukum pada dunia.
dunia yang diberantakkan
lanang telah memberantakkan keindahan semacam itu – keindahan alami dari alam alami – keindahan organ organ mahluk hidup menjalankan fungsinya. Sains, kata ilmuwan, adalah kepastian atas dunia ciptaannya. Tapi kepastian tuhan tetaplah memiliki peluang untuk daya tawar.
Atau hendak kita katakan: kepastian itu berbeda pada dua dunia: dunia alam fisik dan dunia alam mahluk hidup? nyaris tak terbayangkan menggeser hukum tuhan tentang bumi yang mengitari matahari, ke dalam sebuah pergerakan bumi mengitari galaksi bimasakti, atau berjuta juta galaksi. Sementara di dalam dunia mahluk hidup, sains telah melakukan pembalikkan atas hukum alam, seperti yang kita saksikan dalam novel lanang. Atau hukum pada alam fisik pun sesuatu yang mungkin diubah?
Kalau demikian halnya, maka hanya soal waktu belaka akan tampilnya seorang dewi lain? - dewi di bidang seni novel antariksa? Di mana tatanan astronomi menjadi kacau, sebagaimana tatanan genetika manusia menjadi kacau?
Novel Supernova, belum mencapai taraf imajinasi fsti esai ini. Baru merangkak pada ketakjuban akan dunia yang dilihat oleh tokoh tokohnya.
Semacam proses kanibal dalam mesin. sebuah piranti dicopot, untuk digabung ke dalam tubuh induk. Hasilnya bukan pola induk lagi. Tapi pola induk yang sudah bercampur dengan kemungkinan fungsi yang berdampak lain.
inilah yang terjadi dan memenuhi sekujur tubuh novel lanang. Di sana, sains diangkut ke dalam fiksi – ke dalam seni novel. Hasilnya adalah burung babi hutan di awal novel, ragam mahluk transgenik sebagai hasil biotek di ujung novel. Oleh sang novelis yang kehadirannya menakjubkan itu, seperti yang ditulis oleh prof. bambang sugiharto. Sayang, statemen bambang ini tak kita lihat elaborasinya. Pernyataan yang membuatnya setali tiga uang dengan prof. sapardi, yang pernah berkata bahwa sebuah novel belum pernah dicoba komposisinya di negeri ini, bahkan di dunia lain pun. Tapi hingga saat ini kita tidak pernah mendapatkan argument pendukungnya.
rekayasa genetika, sebagai bentuk sains mutakhir terhadap gejala mahluk hidup, sangat mungkin menerobos imajinasi, mendarat ke dalam bentuk nyatanya. jonathan telah mengantarkan sains itu ke dalam sastra. Ke dalam bentuk seni novel. Tapi, dapatkah sastra indonesia berkata, bahwa ia telah memiliki seni yang mengangkut sains ke dalam tubuhnya?
di awal telah saya tegaskan, bahwa keindahan datang dari pola alam yang terberi, yang melompat ke dalam bentuk barunya, yakni keindahan sains tentang alam fisik yang bisa kita tatap tahapan tahapannya di dalam kerja laboratorium, maka pertanyaan yang sama bisa kita ajukan kepada bentuk sains yang lain. Yakni sains tentang tentang genetika mahluk dalam novel lanang. Adakah keindahan kita temukan juga di sini? Apakah keindahan yang kita temukan itu telah indah pula dalam bentuknya yang lain, yakni bentuk sastra. Dengan lain perkataan, berhasilkah jonathan membentuk sains ke dalam novelnya? berhasilkah penulis gila dan amat istimewa ini mewujudkan proyek ambisiusnya tentang manusia?
sains dan keindahan dalam lanang
Kalau saya berbicara tentang keindahan, maka saya berbicara tentang sebuah struktur, tentang nuansa nuansa di dalam struktur, tentang pembelokannya dan penyatuannya. tentang proses berjalannya unsur unsur di dalam struktur. Tatanan yang secara persepsi nampak bekerja secara serasi, itulah struktur. Persepsi yang mendatangkan kenikmatan indera memaknainya. Tapi sekaligus dengan itu, saya berbicara juga tentang kekacuan sebagai gejala keindahan. Konon, hukum kedua termodinamika, mengabarkan kekacauan ini, sebagai hukum yang melekat pada semesta. Di mana semesta bergerak maju melalui dan menuju kekacauan. Dalam perspektif hukum ini, dunia mahluk hidup sebagai bagian dari semesta, maka bisalah disebutkan kehendak jonathan untuk memberantakkan mekanisme organ dalam tubuh, adalah di dalam visi kekacauan hukum kedua termodinamika. sesuatu yang nampak kacau, nampak indah dalam persepsi saya. Karena dengan kekacuan itu, terbuka daerah daerah kemungkinan kreatif
yang bisa dimaknai.
Begitulah sains yang hendak memporandakan struktur alami, akan mendatangkan keindahan di hati. Sebagai sebuah motif, dengan elemen elemen pendukung motif, yang dalam kasus novel sebagai karya seni, seni novel, maka elemen elemen pendukung novel. Sejauh manakah unsur unsur novel di dalam novel lanang mendukung motif sang pengarang, untuk mengubah pola alami dalam tubuh mahluk hidup.
Plot dalam alur, alur yang meniti dalam plot, plot kejadian peristiwa atau plot kejadian pikiran, mengisahkan repetisi terhadap kisah genetika. Menjadi plot dan alur yang repetitif. Maka sekujur novel dipenuhi oleh suara suara tentang rekayasa genetika, dengan akibat awal sapi yang mati karena wabah yang disebar. Warna dasar novel muncul timbul tenggelam ke dalam tokoh dan waktu, yang juga timbul tenggelam. Novel bergerak seolah karikatur sebuah negeri. Di mana hal ihwal tak gampang dikuakkan - semua nampak mengambang. Memendek atau memanjang. Di mana rasio berpadu dengan unrasio. keagungan berbalut dengan kebusukan. Dibayang bayangi kuatnya peran narator dalam novel, narator yang sepintas tak cukup demokratis kepada kebebasan tokoh, elemen elemen novel bergerak maju mendorong novel.
Dalam repetisi seperti itu, pembaca mungkin berpikir untuk membuang bagian bagian novel yang tidak penting, bagian bagian yang bisa dihilangkan tanpa mengurangi maksud novel. Atau, mengintensifkan bagian bagian semacam itu, sebagai penguat novel. Tapi saya memperlakukannya sebagai gejala dunia yang saling komplemen. Serupa ranting kecil yang tumbuh di sebuah batang yang rindang. Dengan ranting seperti itu, maka satu satunya ukuran, kalau pun hendak disebutkan ukuran, adalah dengan menyimak kedalamannya – kedalaman makna yang dikandung ranting. Bukan menyibak semata arti kehadirannya, dalam konteks pohon yang besar – novel lanang.
Apa yang khas pada lanang adalah, peristiwa sering terjadi tanpa deskripsi. Ide seolah lepas dari tubuh – tubuh novel.
Apakah artinya seorang anak peternak sapi yang meratapi sapinya yang mati? Anak yang tak nampak dalam penceritaan, tiba tiba menyeruak sebagai peratap sapi yang mati. Inilah tokoh yang datang mendadak. tekanan material tangis dan kesedihan di sana masih ada, tapi tangis dan ratapan di sana terasa kehilangan timbangan maknanya.
Dengan cara yang sama, hal ini bisa kita lihat dalam sebuah momen yang diturunkan jonathan sehalaman penuh, tentang seorang peternak yang meratapi sapinya yang mati. juga mereka yang ramai bicara tentang sebab sebab bencana, dalam selang seling pendapat yang hanya ide, tanpa deskripsi dan tanpa tahu siapa mereka yang bicara.
Semua itu membuat novel menjadi bising ide, tapi kehilangan sentuhan untuk mendiskripsikan manusia ke dalam gerak fisiknya, yang bisa kita maknai manusia yang bergerak dalam realitas sehari-hari. Di mana sebuah kesedihan, adalah kesedihan yang bisa kita ikut rasakan vibrasi rasanya. Di mana sebuah kekalutan, adalah kekalutan yang bisa pula kita rasakan debar paniknya.
Tapi harus segera kita katakan, bahwa lanang memuat sekaligus bising ide dan deskripsi peristiwa dan pikiran, yang membuat pembaca terhenyak. Di mana peristiwa yang digambarkan benar benar mendebarkan. Seakan campuran dunia nyata dan dunia mimpi yang tak mungkin terjadi. Tapi ia hadir sebagai pemandangan realis di dalam novel. Lihatlah bagaimana mencengkamnya kejadian burung babi hutan yang kasmaran di depan suami istri yang sedang di puncaknya: bermain burung. Lihatlah bagaimana jonathan menghadirkan ide ini dengan mendadak di tengah permaianan burung yang sedang berlangsung.
Kejadian yang dilukiskan jonathan ini, dengan skala kemungkinan rekayasa genetika pada tema utama novel, adalah sebuah tamparan yang keras bagi pendukung uu pornografi. segera terbukti, bahwa deskripsi persetubuhan yang dilarang dalam uu itu, menemukan bentuk, atau sebuah hal yang niscaya, dalam novel lanang. Ia bukanlah tempelan belaka, mengejar sensasi kehadapan publik tentang hubungan terlarang tapi hendak diungkapkan. Tapi adalah bagian utama yang mendukung misteri novel: rekayasa genetika yang berbuntut kehadiran burung babi hutan, dengan sikap sikap misterinya.
Pelukisan hadirnya sesuatu yang buas di tengah kekusyukan hubungan suami istri itu pun, adalah teror yang begitu sempurna dihadirkan seorang pengarang sastra, kepada kehidupan manusia. Seolah kejadian itu ingin mengejek kefitrian hubungan suami istri, hubungan yang akan membuahkan kelangsungan kemanusian. Teror bagi isyarat bahwa kemanusiaan, seolah akan berhenti di dalam novel. Maka dua dunia, yang memang selalu hadir di dalam kehidupan manusia, dunia penuh kemanusiaan yang dilambangkan dengan persetubuhan suami istri, dunia alam binatang yang mendapatkan wujudnya melalui burung babi hutan yang kasmaran, tapi dengan sikap seolah manusia yang mengancam. Atau dunia regulasi kaum politik, yang seolah hendak memberikan napas segar bagi kehidupan, tapi pada saat yang sama, hadir pula dunia pemangsa yang disandang oleh sang regulator itu sendiri.
Dalam pelukisan ini, sering novel seolah kehilangan hubungan sebab dan akibat dalam tatanannya. Bersamar dengan kekaburan atau kecanggihan memainkan bahasa, yang terbaca sebagai bahasa yang sengaja menutup motif, sehingga motif masuk ke dalam sebuah misteri yang hendak dijadikan payung oleh novel. Puteri, yang dilukiskan sebagai istri yang menyayang suami dan lanang pun, sebagai suami yang menyayang istri. Itulah tangkapan awalnya, sebelum kita diajak masuk ke dalam alur yang berkembang dan plot novel yang berputar timbul tenggelam – seakan jonathan ingin menyampaikan kisah novel secara serempak, seakan tenaga penceritaan begitu berlapis saling menekan sehingga ia mendesak dan menyelinap ke dalam alur ke dalam plot menjadi peristiwa, menjadi renungan, dan membelokkan novel dari arahnya semula, ke arah yang tak terduga. Begitulah kita bisa menimbang puteri, yang pada kehadiran burung babi hutan demikian dicengkam rasa takut, tapi pada kehadirannya yang
lain, kita sudah dibawa pengarang kepada rasa takut yang dimainkan secara bahasa. Sehingga kita kehilangan jejak atas tokohnya: bagaimana dari rasa takut menjadi dia yang mengalami persetubuhan dengan sang “babi”.
Novel menguakkan ini melalui pernyataan dewi, bahwa sang puteri, atau rajikun, atau dewi sendiri, sebenarnya saling berkorelasi dengan lanang dalam hubungan dengan rangkaian dendam yang datang dari masa lalu.
Repetisi itu, menemukan juga bentuk keindahannya yang lain dalam sains, bukan pada semata hasil yang dipandang sebagai wabah – burung babi hutan dengan segala efeknya. Tapi pada makna rekayasa genetika dalam novel. Sehingga novel lanang meraih inti: bahwa ilmu, dengan bumbu penyadap tahyul, adalah bisa mengubah hakekat manusia yang terberi pada tempatnya. Dengan kombinasi pengamatan pada materi, sel, kimia, dipandu dengan kecanggihan ilmu komputer, maka esensi manusia nampaknya bisa diubah – baik bentuk tubuh, maupun isi kesadarannya.
Sekujur tubuh novel lanang, dipenuhi oleh tema ini: gen mahluk hidup yang bisa diubah, atau, tepatnya: yang hendak diubah.
Tapi haruslah dikatakan, sains pada novel lanang, tampil bukan dalam bentuk kerjanya yang nyata, tapi dalam wujud berupa statemen. Sepanjang pengembaraan novel ini, yang kita saksikan adalah logika sains tentang berpindahnya gen, bukanlah pengamatan yang mendetilkan tentang mutasi gen di bawah miksoskop. Dan alangkah mendebarkannya, seandainya proses gen yang berubah dengan dicangkok, di dalam pengelihatan mikroskop, terlihat dalam mata kita melalui tahapan tahapan detilnya dalam novel. Kemungkinan inilah yang bisa meneruskan halaman halaman awal seratus tahun kesunyian, ke dalam tubuh dan semangat sekujur novel lanang: kehendak untuk mengubah gen mahluk.
Kita ingin tahu apakah benar mutasi gen yang diprovokasi ke dalam tema utama memang terjadi di alam nyata. Apakah ada ciptaan serupa itu.
Achmad maulana, meyakini yang dilakukan manusia bukanlah penciptaan. Sebab fungsi ini hanya dimiliki oleh tuhan. Manusia tidak bisa mencipta dari sesuatu yang tidak ada. Dia hanya bisa mencipta dari apa yang sudah ada. Tapi rayni membantahnya. Bahwa membuat dari yang sudah ada juga adalah mencipta. Dan gen, adalah sesuatu yang sudah tersedia, terberi di setiap mahluk hidup.
Kita lepaskan polemik tentang arti penciptaan di milis apresiasi sastra itu, masuk ke dalam rekayasa genetika. Bahwa gen bisa dimutasi. Kalau demikian halnya, maka terbuka kemungkinan untuk sebuah perpindahan gen baik secara rekayasa atau secara alami. Ini akan membenarkan, atau setidaknya memberikan jalan, bagi hidupnya kemungkinan terori Darwin, tentang asal usul manusia kini, dari species yang amat sederhana – sesuatu yang, konon, telah ditolak: tak mungkin ada perpindahan gen serupa itu.
Maka dengan dua belahan semacam itu, menjadi sangat mendebarkan kehadiran jonathan dengan rekayasa genetika dalam seni, seni novel. Dengan berdebar pembaca ingin mengetahui tiap detilnya perpindahan gen, ke dalam atau di bawah pengamatan kerja laboratorium yang bisa kita tatap bersama tahapan tahapannya. Tahapan yang mengandung asumsi, dasar pemikirannya yang telah terceritakan dalam novel lanang. Sehingga pembaca novel lanang bisa ikut memasuki alur pemikiran gen dalam tahapan kerjanyanya. Bukan dalam bentuk statemennya.
Tapi lanang tidak melakukan itu. Dengan begitu pembaca hanya disuguhi tentang sebuah hal yang seolah telah terjadi, kehilangan kesempatan untuk mengikuti tahapan tahapan mutasi gen. dengan demikian gagalkah novel jonathan sebagai seni yang membawa sains ke dalam fiksi? Tidak. Justru jonathan sangat fenomenal sebagai sastrawan yang mengankut sains ke dalam seni novel. Tapi pada tahapan pernyataan sains alias statemen sains. Maka, kalau hendak dirujukkan kepada keindahan, keindahan datang bukan dari diterapkannya sains ke dalam peristiwa yang bisa diamati tahapan tahapannya, tapi pada telah dilakukannya statemen sains pada peristiwa peristiwa yang membuat plot dan alur novel lanang berjalan.
Dengarlah kata dewi sambil menunjuk kepada sosok sapi yang lucu:
Gensa, kau lahir sebagai rekayasa gen manusia yang disuntikkan ke dalam sel telur sapi, ditumbuhkan dalam tabung percobaan sampai menjadi emribo yang selanjutnya dicangkokkan ke dalam rahim indukmu, dibiarkan berkembang.
Dan kau frida, kau domba betina yang berasal dari sel ambing atau kelenjar susu domba dewasa berumur enam tahun.
apa yang disuarakan dewi adalah statemen sains, bukan sains yang bekerja setapak setapak di bawah uji laboratorium, di bawah mikroskop.
Bahkan lanang sekalipun, yang di akhir novel nampak menemukan nasibnya yang sangat mengenaskan, adalah juga statemen sains. Lanang yang ginjal dan hatinya telah ditukar dengan ginjal dan hati burung babi hutan.
Dengan mengatakan sains sebagai statemen, bukan sebagai liku yang didetilkan ke dalam sebuah proses, bukanlah maksud saya hendak mengurangi nilai kedahsyatan novel ini. Saya beranggapan, sekalipun dalam tingkatan statemen, novel lanang telah sangat berhasil memprovokasi tema yang dibawanya. Yakni visi tentang esensi manusia bisa diubah, seandainya hukumnya ditemukan. Rekayasa genetika, sangat mungkin bisa diterobos ke dalam dunia nyata, bukan fiksi lagi.
Novel pun mengakui bahwa upaya mengubah ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Sekalipun telah terjadi pergerakan genetika, rekayasa gen itu telah menyisakan efek samping, sementara hasil maksimal perpaduan belum menampakkan hasil yang maksimal. Banyak ekses mutasi gen ini, kata dewi. Tapi optimisme tentang esensi manusia yang hendak diangkankan lebih sempurna, bisa terus diupayakan dengan kemajuan sains biotek.
Pada keberhasilannya memprovokasi tema rekayasa genetika, adalah letaknya keindahan novel lanang. Bahwa manusia, walau penuh kontroversi dalam pandangan nilai moral formal, memiliki daya untuk menawar kehidupan yang seolah tak bisa diubah. sekali hukum ditemukan, maka pola untuk mengubah esensi manusia, menjadi wilayah yang terbuka.
Menjadi pertanyaan penting di dalam sains: adakah hukum dalam terbentuknya nyawa itu? apakah dengan menemukan polanya, maka manusia pun bisa membuat nyawa?
Lanang, puncak novel indonesia, kejatuhan dan kebangkitan manusia
Apa yang dibawa oleh novel lanang, yakni sains ke dalam sastra, memang bukanlah langkah pertama dalam pengertian sains. Kalau dunia computer bisa kita masukkan ke dalam alur sains, burung burung manyar pun telah melakukannya saat setadewa membongkar jaringan ekonomi global yang memanipulasi angka angka dalam dan saat berhubungan dengan pihak Indonesia. Manipulasi yang begitu rumit dan membutuhkan pengetahuan sains tingkat tinggi di bidang computer.
Tapi benar: tubuh novel burung manyar bukanlah bernapaskan sains.
Supernova pun telah membawa wawasan sains ke dalam alur ceritanya. Dengan intensitas yang terpecah kepada tokoh tokoh yang menyebar, wawasan sains yang dibawa supernova bisa dikatakan cukup intensif. Tetapi yang membedakan di sana: pada supernova sains tentang alam fisik itu, tepatnya astronomi, tampil sebagai diskusi yang manis yang tak berdampak apa pun. Sains di sana adalah sains yang normal. Bukan sains subersiv sebagaimana dalam dunia novel lanang.
Di lepaskan tema sains di sana, maka yang kita dapati pada supernova adalah kaum kelas menengah yang mapan dan terjebak dengan kesunyian hati masing-masing. Tak ada visi tentang kehidupan yang hendak mereka wujudkan. Dalam semacam tesis untuk tema dan isi novel, yang dipajang sebagai pintu masuk novel, supernova menegaskan semacam pendirian. Yakni: “hanya ada satu paradigma di sini: keutuhan. Bergerak untuk satu tujuan: menciptakan hidup yang lebih baik. Bagi kita. Bagi dunia.”
Tapi penegasan semacam itu tidak membuat novel bergerak ke suatu tujuan aksi, atau renungan utuh akan dunia yang lebih baik. Tokoh tokoh novel berakhir dengan ringan, semacam ending dari film film yang bahagia, di mana persoalan atau lanskap laku hanyalah seolah jalan untuk melapangkan kebahagiaan semacam itu.
Begitulah tokoh ruben dan dhimas berakhir dengan manis. Dengan ucapan ucapan lembut kedua lelaki terhadap pasangannya. “Mereka lalu berpegangan tangan erat. Dua pria yang tak punya nama belakang di dalam sebuah kamar kerja. Saling mencintai.”
Tentu saja tiap novel bergerak dengan logika dan kisahnya sendiri. Adalah hak tiap pengarang menggarap wilayah kerjanya. Tapi kalau kita letakkan novel sebagai upaya memperkaya pengenalan kita kepada hakekat manusia, maka ideal novel adalah yang bisa menguakkan apa hakekat manusia itu. Apa manusia dan bagaimana hakekatnya, hanya bisa dilayani dengan geraknya pada tiap masalahnya. Ini berarti sang novelis harus menyiapkan semacam medan tempur untuk tiap tokoh novel. Sehingga dari medan tempur semacam itu sang tokoh, bisa mewujudkan dirinya siapa dia di dalam dunia. Sekaligus menguakkan apa dunia itu. medan tempur semacam itu hanya menjurus ke satu jurusan: manusia di tengah “masyarakatnya” dan “situasinya”. Dengan berada di tengah masyarakat dan situasinya, dia bisa mendudukkan diri sebagai manusia aksi, atau manusia yang menyiapkan renungan terhadap gerak dan hakekat hidup.
Sejak layar terkembang, siti nurbaya, belenggu, bumi manusia, Ziarah, telegeram, burung manyar, olenka, sampai saman, untuk menyebut novel novel yang sering menjadi pembicaraan oleh pengamat pengamat sastra yang resmi itu, novel Indonesia selalu berpola dengan tipologi garis tegas antara tokoh baik dan tokoh buruk. Ada pertarungan dan kadang kadang si buruk memenangkan pertarungan – seperti kita lihat kolonialisme yang mengalahkan nyai ontosoroh dan mingke dalam bumi manusia. Atau bandul bergerak kepada tokoh yang baik serupa setadewa dalam burung manyar, Drummond dalam olenka, mereka yang mewarisi spirit orang baik atau tokoh yang baik yang telah dimulai oleh layar terkembang, akan menang di akhir pertarungan. Begitulah tipologi tokoh dalam sastra Indonesia mutakhir, khususnya novel, adalah pemihakan kepada tokoh baik yang menang di dalam medan laganya.
Tapi dengan kehadiran lanang, tipologi tokoh semacam itu seolah runtuh: lanang tak menyisakan tokoh baik dalam dirinya. Lanang bukan saja menjadi novel pertama yang dengan intensitas kepada sekujur tubuh novel, mengangkut wawasan sains ke dalam tubuhnya, tapi sekaligus membawa perubahan pada tipologi tokoh dalam tradisi pernovelan. Yakni hancurnya anggapan atau pemilahan tokoh baik dan tokoh buruk. Ini adalah filsafat baru yang sangat berani dalam dunia pemikiran di negeri ini, yang dalam ranah idealnya menghendaki sebuah etik yang imperatif: bahwa manusia haruslah menjadi juru selamat masyarakat.
Begitulah anggapan terbenam. Tapi dibongkar oleh kerja novel lanang: kenyataan memperlihatkan sebagian wajah kita, kalau tidak seluruhnya. Manusia indonesia sakit, kata muhtar lubis. Tapi harus segera kita tambahkan: manusia dunia juga sakit. Betapa manusia ditelanjangi, dilucuti, dari anggapan anggapan baiknya oleh novel lanang. Kebaikana di sana menjadi sekaligus kebusukan di sana. Bahwa manusia mengandung unsur kejahanaman dan kejahanaman bisa saja menang melawan hakekat dari keping manusia yang lain – keagungan.
Dalam arus dunia itu, lanang nampak memilih sisi apa yang telah dikatakan tuhan itu sendiri: kelak kalian akan berbunuhan satu sama lain. Kebusukan, lawan dari keagungan, yang diterminologikan oleh kitab itu sebagai berbunuhan satu sama lain, adalah salah satu wajah dunia yang dipilih sepenuhnya oleh novel lanang. Maka pada lintasan ini, kita bisa berkata bahwa lanang telah menyalib novel novel pendahulu mereka.
Sangat mungkin kutipan dari sebuah kitab akan ditolak oleh pembaca. Tapi kalau diletakkan betapa relatifnya dunia, juga dunia sains yang kehilangan kepastian kalau ruang dan waktu ditempatkan secara lain, katakanlah ruang dan waktu di matahari, maka semua bahan yang terbaca bisa menjadi bahan untuk suatu telaah yang menyeluruh. Anggaplah kitab itu sebagai sebuah teks sains social, yang kedudukannya sama dengan pemikiri pemikir social yang sering menjadi kutipan dalam perbincangan di dunia humaniora. Maka dengan jalan seperti itu, kita mendapatkan suatu justifikasi dari pilihan wajah kebusukan dalam novel lanang. Novel mendapat sandaran filosofisnya yang, mungkin, tidak disadari oleh sang penulisnya sendiri.
Novel yang disampaikan dengan pendekatan thriller ini, menempatkan manusia dalam posisi yang penuh dengan kontradiksi. Dan sikap atau ideologi yang dipilih serupa itu, membuat lanang tak memiliki jalan keluar dari krisis kemanusiaan – kalau pun krisis kemanusiaan itu memang ada (pemanasan global, politik yang terus menampakkan wajah unhumanis). Malahan membawa kepada krisis kemanusiaan yang baru: hancurnya manusia dan bangkitnya iblis berupa manusia dengan kehendak merekayasa mahluk. kebangkitan manusia dengan mengandalkan otaknya, adalah sekaligus kejatuhannya sebagai mahluk yang ingin membangun peradaban. Pernyataan baik dan buruk yang berselang seling melalui tokoh lanang dan kepala koperasi misalnya, hanyalah semacam wacana untuk meledaknya sifat sifat jahat pada manusia. Mewujud sikap baik manusia ke dalam kehendak untuk melihat perbaikan masyarakat, tapi serentak dengan itu ia tertelan dengan kejahatan dalam dunia seksual dan kehendak untuk
memasuki dunia dagang. Dunia penjualan obat obatan.
Pada titik ini, novel sungguh adalah dunia kejatuhan manusia yang sempurna. Segenap kontradiksi bemain di sini. Kontradiksi yang dimulai dari dan menghidupi tokoh tokoh novel. Jadi bukan hanya tuhan telah mati tapi manusia baik pun telah mati. Juga dewi dan “zhang ziyi” telah mati. Semua tokoh tokoh novel membawa masa lalunya yang kelam, dan dalam satu arti, gerak novel datang dari motif masa lalu itu. Dengan penceritaan yang berselang seling realis ke surealis, novel nampak seolah dunia mimpi yang menyeramkan. Mimpi panjang dari derita hidup pelaku pelakunya, yang hidup dengan motif membalas dendam. Lihatlah tokoh tokoh novel bergerak dan menguakkan masa lalu itu, lalu terjerembab ke dalam napsu hendak membalas.
Di sini, bisa kita katakan novel memperlihatkan keunggulannya. Nampak betapa tokoh tokoh seolah konsisten mengejar kemajuan dalam versinya sendiri. Tapi kemajuan yang sekaligus kejatuhannya. Dewi hendak membangun dunia baru tapi dunia baru itu penuh dengan mahluk hidup yang dikorbankan. Ambisi ini membuatnya menjadi tokoh yang telah kehilangan nurani sebagai manusia. Lanang adalah dokter hewan yang idealis tapi kemudian terjerembab ke dalam kejatuhannya sendiri. Rajikun adalah tipologi tokoh yang bermain dalam wilayah agama dan lalu tersesat, untuk kemudian membalas dengan cara lain. Juga puteri istri lanang.
Begitulah kita tak menemukan manusia baik di novel ini. Semua nampak mengerikan. Satu satunya manusia baik adalah peternak sapi pak sukarya. Tapi toh kita tidak tahu apa yang terjadi pada malam malamnya. Dan ada yang membuat saya berpikir, bahwa novel penuh dengan misteri ini, diakhir novel malah menguraikan kejahatannya sendiri. Kejahatan diakui. Bukan dipaksa untuk diakui oleh varian di luarnya, atau oleh sang narator dalam novel. Tapi oleh tokohnya sendiri yakni dewi. Tokoh yang maha perkasa. Iblis betina yang menjadi pemain inti dari segenap kekacauan.
Apa yang menarik adalah: seolah novel adalah cerminan, atau simulasi, dari dunia pembalasan oleh dunia sana kelak. Di mana anggota tubuh bicara sendiri tentang lakunya di dunia. Dan itu terjadi ketika dewi menjelaskan segala misteri dan keanehan novel. Ia menguraikan satu demi satu apa yang telah dilakukannya, di dalam bayang bayang kehendak untuk meraih kemajuan, sekaligus kejatuhannya sebagai harga dari kemajuan yang hendak dicapai itu.
Nyaris tokoh bergerak tanpa timbangan kemanusiaan normal. Kalau pun ada suara semacam hati yang berdosa, dengan cepat dendam masa lalu serta kemajuan masa depan menutup jalan bagi tokoh tokohnya. Rasa bersalah dibenamkan oleh kehendak untuk berkuasa, dalam bentuknya yang paling dingin dengan mencabut hidup normal dari orang orang yang dikasihinya dan pernah dicintanya. Bahkan masih dicintanya.
Dengan semua ilustrasi itu, maka jelas lanang telah membawa visi baru tentang manusia yang diangkut ke dalam novel – sebuah visi yang menampakkan hakekat satu sisi manusia yang secara radikal. Yakni wilayah setan. pada lanang trace tokoh etik telah diakhiri. Dia bergerak dan mulai mengibarikan jejak baru pada kenyataan manusia. Apa yang dikerjakan lanang serupa dengan sebuah novel yang menyorot sisi baik dan sisi buruk ke dalam alam bintang dari tingkah laku manusia, yang berselang seling pada dirinya dan pada orang lain. Novel tentang kekosongan. Dari hidup yang kosong dan dari tuhan yang kosong. Dalam kehadirannya dengan ciptaannya. Kosong dari ketiadatahuan kita tentang sebuah kepastian yang hanya miliknya semata.
Melayari alur filsafat semacam itu, lanang kadang serupa hendak membalik arah lagi melalui naratornya – seakan ada kilas kehendak untuk berbuat baik atau menghujamkan nilai nilai baik kepada manusia, yang hendaklah berlaku terhadap tokoh yang sedang diceritakan oleh narator. Tapi tampaknya narator pun akhirnya menyerah dengan desakan desakan dari sang tokoh sendiri, yang memang meledak ke dalam sifat sifat kebinatangan yang tak tertahankan. Kehendaknya untuk totaliter akhirnya tak berdaya dengan tokoh yang menempuh jalan alam kebinatangannya sendiri.
Tapi dengan begitu lanang jadi bercahaya. Novel menampakkan salah satu sifat yang melekat pada manusia tanpa ragu. Tuntas mengelaborasinya ke dalam wilayah kerja yang digelutinya: rekayasa genetika. Kehendak untuk menyambut dan melawan takdir tuhan atas manusia. Ia menjadi tantangan untuk membuka wilayah kemungkinan baru. Mungkin ia menjadi binatang. Tapi siapa tahu suatu saat ia malah berbalik menjadi tuhan.
(hudan hidayat)
[1] Hudan Hidayat: Sastrawan, Pendiri CWI (Creative Writing Institute) bersama Ahmadun Yosi Herfanda dan Maman S. Mahayana, Deklarator Memo Indonesia bersama M Fadjroel Rachman, Mariana Amiruddin dan Rocky Gerung,
[3] Makalah HUDAN MENAFSIR LANANG Percakapan Kreatif Bersama HUDAN HIDAYAT Berdasar Pembacaan Novel LANANG Karya Yonathan Rahardjo Penerbit Pustaka Alvabet Kamis/ 13 Nopember 2008 Pukul 19.00- selesai di NEWSEUM CAFE Jl Veteran I/ 33 Jakarta Pusat Lokasi dekat Stasiun Juanda, Masjid Istiqlal, MONAS Telepon 021-344-6703 Suasana diperkuat Maulana Achmad dengan Pembacaan Cuplikan Novel LANANG
No comments:
Post a Comment