1. Puisi
Membaca “Lanang” seperti membaca puisi panjang. Perhatikan misalnya pada frase-frase berikut ini:
l Hijau kehitaman dedaunan bersembunyi dalam udara gelap,
menyilih mengabu-abu
kabut yang pelahan turun dari angkasa seperti pasukan perang
yang bergerak serentak.
l Satu jalan lurus
pada salah satu sisi jalan beraspal
menuntun pandangan mata
malam mengarah menuju satu tempat
tersembunyi di balik gagahnya rumput-rumput gajah.
Rumput gagah yang meski kedinginan dimakan embun malam,
masih tetap tegar bertumpu pada tanah hitam.
Batang, dedahan dan reranting pohon
menyangga dedaunan tenang kuyub
berbayang-bayang dalam rumpun-rumpun pohon
di lahan berhiaskan tanaman dan tetumbuhan kebun.
l “Cepat.. cepat.. cepat!!” perintah keras dari seorang yang tegang. Orang-orang yang ada di ruang begitu sibuk menangani alat-alatnya. Bebunyian logam-logam sebagai peralatan standar penanganan sapi perah saling bertumbuk dengan gelas-gelas botol, vial dan ampul obat-obatan dalam alatnya masing-masing.
Gerak lelaki-lelaki itu begitu tergesa-gesa. Dengus-dengus nafas begitu kuat seolah hendak menyapu roboh meja-meja yang di atasnya tergeletak berbagai kertas dan peralatan kesehatan ternak.
Dentam-dentam kaki pada lantai beradu degam dengan degub jantung dan paru-paru kempang kuncup, membawa tubuh-tubuh itu beradu cepat keluar dari ruang, namun tertumbuk pada suara keras nyaring diteriakkan seorang lelaki yang berlari tergopoh-gopoh masuk lewat pintu halaman depan.
“Celaka! Celaka!! Gawat!!! Sapi-sapi perah tak tertolong!!! Seperti domino jatuh beruntun!!...”
l “Bukan satu kekuatan yang kukubur.
Bukan dua kuasa yang kuhunjam.
Belatiku terlalu tumpul untuk memotong serangan maut ini.
Apalagi mencacah sabetan-sabetan delapan bahkan enam belas penjuru arah.
Aku kalut.
Malam telah membekukku.
Tanganku lunglai.
Kaku. Sekaku pasienku yang membujur dilengkapi lidah menjulur.
Aku ditelan malam.”
Kegalauan Lanang membekukan diri.
l “Kalau manusia rupanya lain,” papar staf peternakan itu lagi, “Apapun yang bisa memuaskan hasrat akan dibabat hingga orang lain sambat!”
2. Retakan
Penggunaan bahasa yang puitis di dalam suatu karya non-puisi, tidak ada salahnya dicermati kepentingannya, sehingga tidak menjadi obsesi yang malah menimbulkan retakan yang memutus hubungan kekentalan cerita.
Misalnya pada bagian di bawah ini:
‘Seolah semuanya menjadi tawar dalam pusaran waktu.
Seperti pohon yang terbakar, arang pun jadi abu. Dibakar lagipun jadi abu.
Pohon yang tumbang menangis mengeluarkan udara panas. Karena api membara. Asap membumbung ke angkasa.
Seperti aliran air dalam selokan kotor. Bau. Penuh dengan amoniak.
Seperti air yang deras. Ia hanya mengaliri pijakan tanah yang menjadi lumut-lumut hijau. Dan ia hanya menjadi aliran tak bermakna.’
Tiba-tiba lelaki itu menginjak rem mobil!
Mobil berhenti begitu keras. Mendadak. Membuat tubuh pengemudi itu dipegas muka belakang.
Lanang menutup mata. Tampak dalam bayangan di depannya..
Ia mendelik. Bergumam..
“Wahai pohon yang berdiri tegak di sepanjang tepi halaman rumah besar.
Wahai pohon yang berdiri limbung ditekan aliran angin yang membumbung.
Asap rokok, asap parah menyesakkan dada.
Bukan karena aku berteriak merdeka.
Bukan karena aku tersungkur dalam keterhuyungan jiwa.
Wahai kursi goyang katakanlah betapa nikmat duduk di atasmu.”
3. Penggabungan dengan fakta mutakhir
“Lanang” dengan jeli dapat menampilkan fakta-fakta mutakhir di sela-sela “kesibukannya” bercerita tentang salah satu drama kehidupan.
Pagi buta, Lanang dan dokter hewan lain mengejar burung babi hutan, mereka masuk keluar pasar-pasar, pasar becek maupun pasar swalayan di pertokoan elit.
Mereka dibantu polisi.
Ternyata, memang dijumpai daging babi hutan.
Penduduk bingung setengah mati begitu mendengar daging babi hutan berkeliaran di pasar-pasar.
Mereka tahu setelah daging-daging aneh yang dipajang bersama daging-daging sapi bermunculan.
Daging itu diaku sebagai daging sapi.
4. Sindiran
“Lanang” juga sempat memberikan sindiran-sindiran dengan bahasa dan perumpamaan yang enteng;
Burung-burung unta lantas dibakar.
Lubang pembakaran pun ditimbun dengan kapur, lantas tanah.
Dalam waktu sekejap semua burung unta seluruh burung Nusantara berhasil dimusnahkan.
Babi hutan bernasib sama!
Pembantaian demi pembantaian terus dilakukan secara besar-besaran......
...
Hasilnya...
5. Keburukan manusia
“Lanang” juga menunjukkan bahwa manusialah sumber petaka atau sumber keburukan;
“Memang akibat penyisipan gen manusia, babi transgenik bisa tumbuh tidak normal. Babi transgenik bisa berbulu lebat, menderita sakit tulang, impoten, bermata juling, bahkan hampir tidak dapat berdiri karena terlalu gemuk,” Dewi menulis pengakuan jujur.
6. Sisi Religi
Ada bagian yang menampilkan “Tuhan” dari sudut pandang yang amat berbeda. Selain menunjukkan bahwa Tuhan tidaklah jauh dan tidak berjarak dengan kita, tulisan ini juga memberikan sindiran terhadap fanatisme beragama yang bersifat fisikal atau duniawi;
“Semalam lalat hijau bertemu Tuhan. Ternyata Tuhan tak mau disembah. Mintanya diajak jalan jalan makan. Kamu mesti bersamaku mengelilingi taman peternakan ini Nak, kataNya.
Menggelepar menggelepar lalat tertembak di ulu hati. Ternyata sastra Tuhan itu insektisida yang paling manjur yang pernah dikenalnya.
Tuhan tak sekedar sebongkah emas di pucuk menara monumen nasional. Tuhan tak sekedar sekeping salib di puncak menara gereja. Tuhan tak sekedar sebilah bulan bintang di pucuk menara masjid.
Jalan yang sama dilalui seribu pasang kaki. Tapak yang berbeda tergurat dari kaki yang tak beda.
Hembusan nafas tak pernah surut hanya untuk berhenti dan mati. Kematian hanya tiba bila semua terbayar lunas.
Penyair takkan pernah berhenti menyusun huruf dan kata. Menjelma jadi kalimat tertanam di pucuk sepasang sayap transparan. Mengepak-ngepak meski musim prahara membakarnya jadi abu, karna lalat tetap lah insan baka insektisida hanya teman bersenda.”
7. Kesimpulan
Membaca “Lanang” seperti berjalan di depan deretan etalase toko. Ada berbagai macam hal dipajang, ada yang cantik, ada yang kotor. Mulai dari urusan koperasi, management, LSM, karakter flora fauna, profesi dokter hewan, mistik, agama, kecelakaan, kloning, laboratorium, peternakan, libido, seks, penipuan, pelacuran, dan lain sebagainya.
Pada intinya, sepenggal bagian hidup ini menjadi begitu ruwetnya di dalam “Lanang”. Jika dijabarkan, mungkin novel ini bisa menjadi sederet ensiklopedia berisi berbagai pengetahuan dan kasus.
Ada 1 bagian yang tidak sinkron, tetapi menguatkan pendapat saya tentang makna cerita “Lanang” ini; yakni merupakan metafora kelelakian yang secara alami tidak mudah untuk dikendalikan, baik oleh intelektualitas, agama maupun waktu. Antara rumah, istri, masa lalu, pekerjaan, profesi, religi, idealisme dan sebagainya, ternyata kelelakian tak bisa atau tak mudah untuk dikendalikan. Maka “Lanang” tampil sebagai sosok yang blingsatan kesana kemari mengukuhkan keberadaan kambing hitam, tanpa sadar bahwa sesungguhnya sumber masalah ada di dalam diri sendiri yang lemah secara batiniah.
Februari 2008
Medy Loekito
Penyair
Membaca “Lanang” seperti membaca puisi panjang. Perhatikan misalnya pada frase-frase berikut ini:
l Hijau kehitaman dedaunan bersembunyi dalam udara gelap,
menyilih mengabu-abu
kabut yang pelahan turun dari angkasa seperti pasukan perang
yang bergerak serentak.
l Satu jalan lurus
pada salah satu sisi jalan beraspal
menuntun pandangan mata
malam mengarah menuju satu tempat
tersembunyi di balik gagahnya rumput-rumput gajah.
Rumput gagah yang meski kedinginan dimakan embun malam,
masih tetap tegar bertumpu pada tanah hitam.
Batang, dedahan dan reranting pohon
menyangga dedaunan tenang kuyub
berbayang-bayang dalam rumpun-rumpun pohon
di lahan berhiaskan tanaman dan tetumbuhan kebun.
l “Cepat.. cepat.. cepat!!” perintah keras dari seorang yang tegang. Orang-orang yang ada di ruang begitu sibuk menangani alat-alatnya. Bebunyian logam-logam sebagai peralatan standar penanganan sapi perah saling bertumbuk dengan gelas-gelas botol, vial dan ampul obat-obatan dalam alatnya masing-masing.
Gerak lelaki-lelaki itu begitu tergesa-gesa. Dengus-dengus nafas begitu kuat seolah hendak menyapu roboh meja-meja yang di atasnya tergeletak berbagai kertas dan peralatan kesehatan ternak.
Dentam-dentam kaki pada lantai beradu degam dengan degub jantung dan paru-paru kempang kuncup, membawa tubuh-tubuh itu beradu cepat keluar dari ruang, namun tertumbuk pada suara keras nyaring diteriakkan seorang lelaki yang berlari tergopoh-gopoh masuk lewat pintu halaman depan.
“Celaka! Celaka!! Gawat!!! Sapi-sapi perah tak tertolong!!! Seperti domino jatuh beruntun!!...”
l “Bukan satu kekuatan yang kukubur.
Bukan dua kuasa yang kuhunjam.
Belatiku terlalu tumpul untuk memotong serangan maut ini.
Apalagi mencacah sabetan-sabetan delapan bahkan enam belas penjuru arah.
Aku kalut.
Malam telah membekukku.
Tanganku lunglai.
Kaku. Sekaku pasienku yang membujur dilengkapi lidah menjulur.
Aku ditelan malam.”
Kegalauan Lanang membekukan diri.
l “Kalau manusia rupanya lain,” papar staf peternakan itu lagi, “Apapun yang bisa memuaskan hasrat akan dibabat hingga orang lain sambat!”
2. Retakan
Penggunaan bahasa yang puitis di dalam suatu karya non-puisi, tidak ada salahnya dicermati kepentingannya, sehingga tidak menjadi obsesi yang malah menimbulkan retakan yang memutus hubungan kekentalan cerita.
Misalnya pada bagian di bawah ini:
‘Seolah semuanya menjadi tawar dalam pusaran waktu.
Seperti pohon yang terbakar, arang pun jadi abu. Dibakar lagipun jadi abu.
Pohon yang tumbang menangis mengeluarkan udara panas. Karena api membara. Asap membumbung ke angkasa.
Seperti aliran air dalam selokan kotor. Bau. Penuh dengan amoniak.
Seperti air yang deras. Ia hanya mengaliri pijakan tanah yang menjadi lumut-lumut hijau. Dan ia hanya menjadi aliran tak bermakna.’
Tiba-tiba lelaki itu menginjak rem mobil!
Mobil berhenti begitu keras. Mendadak. Membuat tubuh pengemudi itu dipegas muka belakang.
Lanang menutup mata. Tampak dalam bayangan di depannya..
Ia mendelik. Bergumam..
“Wahai pohon yang berdiri tegak di sepanjang tepi halaman rumah besar.
Wahai pohon yang berdiri limbung ditekan aliran angin yang membumbung.
Asap rokok, asap parah menyesakkan dada.
Bukan karena aku berteriak merdeka.
Bukan karena aku tersungkur dalam keterhuyungan jiwa.
Wahai kursi goyang katakanlah betapa nikmat duduk di atasmu.”
3. Penggabungan dengan fakta mutakhir
“Lanang” dengan jeli dapat menampilkan fakta-fakta mutakhir di sela-sela “kesibukannya” bercerita tentang salah satu drama kehidupan.
Pagi buta, Lanang dan dokter hewan lain mengejar burung babi hutan, mereka masuk keluar pasar-pasar, pasar becek maupun pasar swalayan di pertokoan elit.
Mereka dibantu polisi.
Ternyata, memang dijumpai daging babi hutan.
Penduduk bingung setengah mati begitu mendengar daging babi hutan berkeliaran di pasar-pasar.
Mereka tahu setelah daging-daging aneh yang dipajang bersama daging-daging sapi bermunculan.
Daging itu diaku sebagai daging sapi.
4. Sindiran
“Lanang” juga sempat memberikan sindiran-sindiran dengan bahasa dan perumpamaan yang enteng;
Burung-burung unta lantas dibakar.
Lubang pembakaran pun ditimbun dengan kapur, lantas tanah.
Dalam waktu sekejap semua burung unta seluruh burung Nusantara berhasil dimusnahkan.
Babi hutan bernasib sama!
Pembantaian demi pembantaian terus dilakukan secara besar-besaran......
...
Hasilnya...
5. Keburukan manusia
“Lanang” juga menunjukkan bahwa manusialah sumber petaka atau sumber keburukan;
“Memang akibat penyisipan gen manusia, babi transgenik bisa tumbuh tidak normal. Babi transgenik bisa berbulu lebat, menderita sakit tulang, impoten, bermata juling, bahkan hampir tidak dapat berdiri karena terlalu gemuk,” Dewi menulis pengakuan jujur.
6. Sisi Religi
Ada bagian yang menampilkan “Tuhan” dari sudut pandang yang amat berbeda. Selain menunjukkan bahwa Tuhan tidaklah jauh dan tidak berjarak dengan kita, tulisan ini juga memberikan sindiran terhadap fanatisme beragama yang bersifat fisikal atau duniawi;
“Semalam lalat hijau bertemu Tuhan. Ternyata Tuhan tak mau disembah. Mintanya diajak jalan jalan makan. Kamu mesti bersamaku mengelilingi taman peternakan ini Nak, kataNya.
Menggelepar menggelepar lalat tertembak di ulu hati. Ternyata sastra Tuhan itu insektisida yang paling manjur yang pernah dikenalnya.
Tuhan tak sekedar sebongkah emas di pucuk menara monumen nasional. Tuhan tak sekedar sekeping salib di puncak menara gereja. Tuhan tak sekedar sebilah bulan bintang di pucuk menara masjid.
Jalan yang sama dilalui seribu pasang kaki. Tapak yang berbeda tergurat dari kaki yang tak beda.
Hembusan nafas tak pernah surut hanya untuk berhenti dan mati. Kematian hanya tiba bila semua terbayar lunas.
Penyair takkan pernah berhenti menyusun huruf dan kata. Menjelma jadi kalimat tertanam di pucuk sepasang sayap transparan. Mengepak-ngepak meski musim prahara membakarnya jadi abu, karna lalat tetap lah insan baka insektisida hanya teman bersenda.”
7. Kesimpulan
Membaca “Lanang” seperti berjalan di depan deretan etalase toko. Ada berbagai macam hal dipajang, ada yang cantik, ada yang kotor. Mulai dari urusan koperasi, management, LSM, karakter flora fauna, profesi dokter hewan, mistik, agama, kecelakaan, kloning, laboratorium, peternakan, libido, seks, penipuan, pelacuran, dan lain sebagainya.
Pada intinya, sepenggal bagian hidup ini menjadi begitu ruwetnya di dalam “Lanang”. Jika dijabarkan, mungkin novel ini bisa menjadi sederet ensiklopedia berisi berbagai pengetahuan dan kasus.
Ada 1 bagian yang tidak sinkron, tetapi menguatkan pendapat saya tentang makna cerita “Lanang” ini; yakni merupakan metafora kelelakian yang secara alami tidak mudah untuk dikendalikan, baik oleh intelektualitas, agama maupun waktu. Antara rumah, istri, masa lalu, pekerjaan, profesi, religi, idealisme dan sebagainya, ternyata kelelakian tak bisa atau tak mudah untuk dikendalikan. Maka “Lanang” tampil sebagai sosok yang blingsatan kesana kemari mengukuhkan keberadaan kambing hitam, tanpa sadar bahwa sesungguhnya sumber masalah ada di dalam diri sendiri yang lemah secara batiniah.
Februari 2008
Medy Loekito
Penyair
No comments:
Post a Comment