Pages

Search Here

PENGANTAR

Bila profesi yang berkaitan dengan penerbitan, periklanan, berbagai jenis media, telah menyumbangkan sejumlah novel mengenai dunianya untuk kesusastraan Indonesia, masih ada banyak bidang profesi, seperti misalnya yang menyangkut kelautan, dirgantara, kehutanan, yang belum pernah menghasilkan pengarang yang menulis mengenai dunianya. Itu penting, karena dunia profesi yang kompleks, dengan ”tic”nya yang khas, hanya bisa ditampilkan oleh mereka yang bergelut dalam profesi yang bersangkutan. Kekhasan Lanang yang pertama adalah bahwa ia ditulis oleh seorang dokter hewan dan berbicara mengenai dunia peternakan yang telah lama digelutinya. Maka bila Saint-Exupery, penerbang perintis Perancis menampilkan kosmologi yang khas dalam Courrier Sud, novelnya mengenai romantika dunia penerbang pos Paris-Dakar yang pertama, Lanang menampilkan kosmologi seorang dokter hewan yang bekerja di sebuah desa di abad ini, yang menghadapi masalah dampak negatif perkembangan bioteknologi.

Kekhasannya yang kedua adalah kedekatannya dengan alam. Hubungan manusia dengan alam yang menurut Hudson merupakan salah satu tema besar, jarang bisa ditemukan dalam novel-novel Indonesia; mungkin karena kebanyakan orang kota atau mungkin orang Indonesia begitu menyatu dengan alam sehingga tak merasa perlu membicarakannya. Alam amat jarang muncul sebagai tema (kecil sekalipun) dalam novel Indonesia. Ahmad Tohari mungkin merupakan perkecualian. Tokoh utama dalam novel ini relatif secara kontinu memberikan perhatian penuh pada alam, berusaha menjaganya, karena ilmu dan pekerjaannya berkaitan dengan alam. Alam dikaitkan dengan rekayasa bioteknologi memang merupakan dua tema yang berpasangan. Yang terakhir itu adalah kekhasan novel ini yang ketiga, sebuah tema yang belum pernah muncul secara penuh, berkelanjutan, dan relatif rinci dalam novel Indonesia. Bioteknologi merupakan unsur yang mengembangkan cerita, di samping kecenderungan tokoh-tokohnya. Selain faktor itu novel ini juga memperlihatkan kaidah-kaidah cerita sains yang juga amat sangat jarang ditulis di Indonesia, yang belum sepenuhnya science minded.

Dunia peternakan dalam Lanang tidak sederhana, melibatkan berbagai lembaga dan kelompok sosial yang berbeda-beda, yang masing-masing mempunyai peri laku dan kepentingan sendiri. Dokter Lanang, ketika suatu wabah aneh meletus membunuh semua sapi perah dan anak sapi perah, tak hanya berhubungan dengan sapi-sapi dan peternaknya, tetapi juga dengan lembaga-lembaga lain, koperasi, perhimpunan dokter hewan Nusantara, laboratorium, pemerintah, juga dengan gereja dan dukun. Di pihak lain, sebagai pengantin baru, dia berurusan dengan istri yang terpaksa sering ditinggalkan untuk menjalankan tugas. Oleh karena itu masalah yang dihadapinya sangat banyak serta rumit: masalah keluarga, pekerjaan, cinta lama yang masih berkobar, keilmuwan, agama, usaha untuk menemukan jati dirinya, dan lain sebagainya. Dokter ini memang ditampilkan dalam berbagai faset, dengan kelebihan dan kelemahan, keberhasilan dan kejatuhan. Dia juga menghadapi sejumlah tokoh, yang misterius dan mengecoh, yang lembut tapi juga bengis. Semuanya terjalin rumit dalam novel yang dibangun dengan saspens dan misteri ini.

Kesan rinci dan jelas di bagian awal segera disusupi misteri: beberapa pembicaraan di telepon yang berkesan rahasia yang dilakukan oleh istri Lanang dengan lawan bicara yang tak pernah disebutkan namanya, setiap kali sang suami tidak ada atau terlena. Sementara saspens bukan hanya ditimbulkan oleh rangkaian peristiwa yang mencemaskan, tetapi juga oleh kalimat-kalimat pendek dan sangat pendek, bahkan banyak sekali kalimat elips. Ditambah lagi dengan alinea-alinea yang pendek: seringkali satu kalimat merupakan alinea yang terpisah. Maka, sesuai dengan kaidah pembacaan cerita saspens, untuk menikmatinya, pembaca harus sabar membaca dari awal sampai akhir dengan teliti. Jika tidak Anda akan kehilangan kenikmatannya.

Ada sentuhan fantastik di beberapa bagian: makhluk aneh, babi hutan bersayap, yang muncul dan menghilang secara misterius, yang sekaligus dikaitkan dengan Dukun Rajikun di satu pihak, dan dampak perkembangan bioteknologi pada hewan-hewan transgenik.. Dokter Lanang yang kebingungan dan terobsesi, buntu menghadapi wabah mengerikan yang tak terpecahkan, masalah dalam rumah tangganya, peristiwa-peristiwa aneh yang dialaminya, juga sering berhalusinasi.

Praktik sains memang memanfaatkan dunia untuk kepentingan kehidupan dan bermuara pada dunia, berdampak pada manusia. Maka tak heran bila para ilmuwan selalu juga berfilsafat --cerita sains murni juga selalu berfilsafat-- mempertanyakan manfaat kreativitas sains pada dunia dan manusia, karena telah melihat bahwa setiap penemuan sains membawa akibat berat, bahkan lambat atau cepat akan menghancurkan dunia dan manusia bersamanya. Cerita sains memang terkenal sebagai cerita yang sangat pesimis mengenai masa depan manusia. Dan meskipun Lanang hanya menampakkan sebagian kaidah cerita sains, peri laku tokoh utamanya, Lanang mengungkapkan pandangan pesimis pada sains. Bertolak dari pengalamannya menghadapi masalah penyakit misterius yang mewabah, ia sampai pada kesimpulan filosofis ini, ”Apa yang kita lakukan pada lingkungan, di situlah jawab dari semua problema ini. Ia lingkungan, akan memberi kenyamanan, ataukah justru ancaman.”

Banyak adegan seks dalam novel ini, bukan hanya antar manusia tetapi juga manusia dan binatang, yang disajikan secara cukup mendetil. Namun bila dilenyapkan atau dikurangi, kerangka cerita akan berubah, karena seks mempunyai kaitan erat dengan penyakit misterius, sekaligus sumber dan ”media” penyelesaiannya, selain juga kecenderungan tokoh Lanang sebagai ”lanang”. Di lain pihak, tampaknya dunia dokter (juga pakar) hewan yang sangat terobsesi masalah pembiakan, karena harus berpacu dengan pertambahan jumlah penduduk yang makin cepat, yang membutuhkan protein untuk kesehatan dan perkembangannya, berkaitan erat dengan seks.

Lanang juga melemparkan banyak kritik sosial. Kritik terhadap dunia pendidikan (kedokteran hewan) yang secara sempit hanya mengajarkan ilmu dari Barat dan mengabaikan kearifan lokal. ”Yang kurang dikenal kalangan medis dokter hewan adalah soal pengobatan tradisional. Sedari kuliah, kepada calon dokter hewan hanya dikenalkan teori anatomi hewan hanya dari kaca mata Barat, dengan peta anatomi tubuh yang dikenal sampai sekarang secara umum.” Kritik juga dilontarkan pada pemerintah, yang selalu lamban, hanya berusaha mencari keselamatan sendiri. Para pejabat juga sangat picik, lamban, dan ketika menghadapi kebuntuan tidak segan untuk mencari jalan keluar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar, yaitu klenik. Kritik terhadap agama juga tak ketinggalan: Kritik keras ditujukan pada masyarakat yang pendendam, suka memakai jalan pintas, dan terutama munafik: semua ucapan positif tokoh-tokoh dalam novel ini bertolak belakang dengan kelakuan mereka. Lanang yang aktif di lembaga keagamaan tidak berperilaku sesaleh itu. Dewi menghujatnya, ”Tak ada dalam hatimu Tuhan yang selalu kamu bicarakan dan kunjungi di rumahNya, dan kau ajak aku menyembahnya di rumahku. Bahkan Tuhan, dari posisi dirimu dan dihadapanNya, tak tercatat dalam hati, pikiran dan perasaanmu. Apalagi dalam perbuatanmu...”; tetapi yang berucap ternyata bengis dan tak berperikemanusiaan.

Akhirnya, setelah Anda selesai membaca keseluruhan novel yang multiaspek, multidimensi, dan multitema ini, Anda mungkin dapat menangkap makna judulnya yang sangat ambigu. ”Lanang” dalam bahasa Jawa tidak sekedar berarti laki-laki, tetapi juga mempunyai konotasi paternalistik, lebih daripada perempuan, di atas perempuan, perkasa, berkuasa, dan jantan. Namun di sini kita juga melihat makna sebaliknya, ”Lanang” hanya sekedar pejantan pembimbang, laki-laki/dokter hewan yang gagal, gagal sebagai manusia maupun ilmuwan. Tetapi mungkin Anda menemukan makna-makna yang lain yang memperkaya pengalaman Anda, karena novel ini sangat kaya pengalaman yang tak dialami dan tak terpikirkan oleh orang kota, dibangun dengan imajinasi yang nyaris liar, dan kadang primitif.

Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno
Guru Besar Sastra Universitas Indonesia
Ketua Dewan Juri
Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006

No comments: